Pertama Coblos

Dahlan Iskan memaksakan pulang ke Surabaya demi bisa mencoblos di Pilpres 2024.--

Oleh: Dahlan Iskan

BARU di Pemilu ke-4 di masa Pak Harto saya ikut nyoblos.

Tiga Pemilu sebelumnya saya selalu Golput  istilah yang dipopulerkan oleh Arief Budiman sebagai gerakan anti Pemilu yang pemenangnya sudah diatur.

Di Pemilu ke-4 itu, 1987, saya pun sebenarnya ingin Golput lagi. Karena itu saya tidak mendaftar sebagai pemilih. Ketika daftar nama pemilih sementara diumumkan tidak ada nama saya. Pun ketika daftar pemilih tetap diumumkan.

Tiba-tiba saya dipanggil Pak Moh Said, ketua DPD Golkar Jatim yang legendaris. Ia kolonel TNI-AD. Pejuang kemerdekaan. Selalu merokok pakai pipa. Orangnya sederhana tapi berwibawa. Tinggi. Besar. Selalu serius. Beliau orang intelijen.

''Ada apa ya?'' tanya saya pada diri sendiri. 

Di masa sebelumnya saya punya pengalaman pahit dengan beliau. Saya pernah dimarahi habis-habisan. Empat mata. Di salah satu kantornya di Taman Chandra Wilwatikta, Pandaan.

BACA JUGA:Tunggakan Bansos 

Belum ada jalan tol menuju Pandaan. Saya harus datang menghadap beliau  di jarak 50 km dari kantor Jawa Pos Surabaya.

Jawa Pos dinilai anti-Golkar. Saya harus mempertanggungjawabkannya. 

Menghadapi orang Jawa seperti beliau saya tahu cara bersikap yang terbaik: diam. Tidak membantah. Tidak perlu menjelaskan. Diam. Dengarkan sungguh-sungguh. Pasang mimik pasrah. Jangan muka acuh atau merengut.

Begitu pula ketika saya pernah dimarahi Gus Dur di Istana Presiden. Soal Jawa Pos juga. 

Pun saat saya dimarahi Presiden SBY. Soal mengapa saya mengangkat dirut Bank Mandiri tanpa konsultasi. 

Beliau marah lewat telepon. Panjang. Saya dengarkan sungguh-sungguh. Sama sekali tidak memotong pembicaraan beliau.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan