Oleh: Dahlan Iskan
Akan ada doktor "bergodo" di Amerika. Dari Wesleyan University, hampir satu jam dari Hartford, Connecticut.
Nama mahasiswa S-3 itu Ethan Schwartz. Orang Los Angeles. Kulit putih. Pakai batik lengan pendek. Bicaranya lembut. Rendah hati. Sopan. Mungkin karena pernah lima tahun tinggal di Yogyakarta.
Ethan –saya pilih sebut ia dengan nama depannya agar tidak sulit mengeja nama belakangnya– memang menyelesaikan S-1 nya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Jurusan gamelan.
Selama di Yogyakarta, Ethan melihat bergodo. Ia tertarik. Bergodo, katanya, telah jadi gerakan politik. Yakni ''politik keyogyakaryaan''.
Dengan malu-malu saya bertanya pada anak muda Amerika ini: apa itu bergodo.
Saya tidak mau wirang sendirian. Maka saya juga tidak mau menjelaskan di sini apa itu bergodo. Toh di bawah sana akan banyak relawan bergodo yang bisa menjelaskannya di kolom komentar.
Sudah bisa memainkan gamelan berapa lagu?
"Tak bisa menghitung," jawabnya. Berarti banyak sekali. Yang paling sulit adalah lagu Wilujeng.
BACA JUGA:Critical Parah
Saya kembali wirang. Saya tidak tahu yang mana lagu Wilujeng itu. Padahal di rumah saya ada gamelan. Seminggu sekali istri saya berlatih gamelan bersama grup senam-dansa kami. Tahu saya hanya Kebo Giro dan beberapa yang sering muncul di pergelaran wayang kulit.
Di Wesleyan University memang punya pusat studi gamelan. Studi gamelan diberi satu gedung sendiri. Dua lantai.
Gamelan digelar di panggungnya. Permanen. Panggung besar. Gamelannya lengkap. Dua kali lebih lengkap dari yang di rumah saya. Belum lagi yang di lantai bawah. Satu set lagi. Hanya yang di lantai bawah inilah yang boleh dibawa tur ke berbagai kota.
Ruang di depan panggung gamelan itu dibiarkan kosong. Tanpa kursi. Luasnya sekitar 32 x 32 meter. Bisa untuk latihan tari Jawa.