Radarkoran.com- Pemerintah Hindia Belanda tidak melarang pelaksanaan salat Ied atau Idul Fitri. Pihak kolonial bahkan mengizinkan pelaksanaannya untuk dilakukan di tempat terbuka dan tidak melarang penggunaan pengeras suara. Ketika itu, pemerintah Belanda ikut menyediakan transportasi ekstra.
Salah satu pelaksanaan salat Ied atau Idul Fitri yang diliput oleh media waktu itu adalah salat Ied yang diselenggarakan di Waterlooplein atau Lapangan Waterloo. Kini Waterlooplein merupakan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
"Tahun ini adalah kedua belas kalinya ibadah ritual semacam itu diselenggarakan di tempat terbuka di ibukota negara," tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, dalam sejarahnya.
Sebelum hari raya, media mengabarkan apakah salat Ied atau salah Idul Fitri di Waterlooplein jadi dilaksanakan atau tidak. Saat itu, Panitia salat Ied atauIdul Fitri terdiri dari 14 organisasi massa dan mendapat dukungan berbagai pihak. Ketika pelaksanaannya, dikerahkan trem ekstra dari Meester Cornelis dan Benedenstad (Batavia Lama) untuk memudahkan aktivitas para muslim menuju Waterlooplein.
Pada ibadah salat Ied sebagaimana warta tersebut melaporkan, yang bertindak sebagai khotib adalah Hadji Mochtar, mantan anggota Mohammadiyah. Sedangkan yang bertindak sebagai imam adalah Hadji Mohammad Isa, Ketua Hof voor Islamietische Zaken.
BACA JUGA:Siapkan Diri dan Hati Sambut Idul Fitri
Muhammadiyah Memelopori Salat Ied di Lapangan.
Dikutip dari buku Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan oleh HM Nasruddin Anshoriy Ch, Muhammadiyah memelopori pelaksanaan salat Ied atau Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan. Salat di lapangan dinilai dapat menjaring jamaah lebih luas dibandingkan di masjid atau langgar. Syiar agama juga disebut lebih cemerlang dan mencapai daerah lebih luas. Efek psikologis salat Id di lapangan dirasa lebih besar.
Muhammadiyah sendiri pertama kali menyelenggarakan salat Ied di lapangan Kota Yogyakarta pada Idul Fitri 1342 Hijriah atau 1925 M dengan dihadiri sekitar 5.000 jamaah. Pada tahun yang sama Muhammadiyah juga mengadakan salat Idul Adha. Gebrakan Muhammadiyah itu menggemparkan kaum konservatif dan sempat ditentang pemerintah Hindia Belanda karena dinilai mengganggu ketertiban.
Pada kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya pada 1926, mereka memutuskan semua cabang Muhammadiyah agar menyelenggarakan salat Ied di lapangan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian bertindak sebagai pihak yang menetapkan peraturan yakni setiap salat Ied di lapangan terlebih dahulu harus memperoleh izin kepolisian.
Kemudian kerap terjadi peristiwa salat Id di lapangan dihalang-halangi atau dibubarkan karena belum memperoleh izin atau tidak dimintakan izin. Sehingga ada banyak pengurus Muhammadiyah yang ditahan atau didengar kesaksiannya oleh polisi karena masalah salat Ied di lapangan.
Pada kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta pada 1934, akhirnya diputuskan setiap cabang yang akan melaksanakan salat Ied di lapangan tidak perlu minta izin polisi, tetapi cukup memberi tahu. Misalnya dipaksa harus minta izin, maka permintaan izin cukup satu kali untuk selama-lamanya dan untuk seluruh Indonesia