Radarkoran.com- Pabrik tahu dan tempe atau perajin tahu dan tempe dihadapkan pada dilema kenaikan harga kedelai yang semakin mahal. Banyak di antaranya memilih mengurangi keuntungan, dibandingkan mengurangi ukuran atau menaikkan harga. Kenaikan harga komoditas jenis kedelai tersebut sebagai imbas dari kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Bahkan, diperkirakan harga kedelai bakal terus naik.
Pantauan Radarkoran.com di salah satu pabrik tahu dan tempe jalan Sempiang Kelurahan Pensiunan, Kecamatan Kepahiang, pada Senin 14 April 2025. Terlihat, asap dari tungku masih mengepul, beberapa kemasan falkon berisi tahu siap jual sebelum diangkut ke pasar.
Pemilik pabrik tahu dan tempe, Yanto sudah puluhan tahun membuat tahu dan tempe tampak membungkus tahu putih yang baru dipotong dengan kain putih. Dia dibantu tiga Karyawannya membungkus tahu yang baru matang. Sementara, disisinya tungku yang digunakan memasak kedelai masih mengepulkan asap dari bara api yang sudah mulai mengecil. Falkon yang sudah penuh tahu dibawa ke meja pengemasan.
Ia menutukan, dengan harga kedelai yang semakin mahal tidak mengurangi ukuran tahu dan tempe yang dibuatnya serta tidak menaikan harga. Ia mengaku khawatir akan kehilangan pembeli dan langganan apabila menaikkan harga atau memperkecil ukuran.
BACA JUGA:Yakin PAD Capai Ratusan Juta: Retribusi Pasar Tradisional Kepahiang Mulai Ditarik
"Serba susah. Biar tetap bisa bertahan, ya mengurangi keuntungan yang sebenarnya juga sudah sedikit," ujar Yanto
Ia memaparkan, setiap hari rata-rata membutuhkan 60 kilogram kedelai. Bahan bahan baku membuat tahu tersebut dibeli dari kios langganannya di pasar Kepahiang,
"Sudah beberapa hari ini harganya Rp 10.800 per kilogram, ini bakal naik lagi, sebelumnya Rp 9.800. Harga bakal terus naik, apalagi ini kedelai impor, bisa mencapai paling tinggi per karung Rp 700 rubu atau per kilogramnya Rp14 ribu," paparnya.