Inalum itu awalnya milik Jepang. Mengapa Jepang membangun peleburan itu di muara sungai Asahan? Bukankah tidak ada bahan baku di sana?
Alasannya satu: listriknya murah. Peleburan apa pun memerlukan listrik yang sangat besar. Di Asahan ada air terjun di dekat danau Toba. Jepang mengincar air terjun itu. Di situ dibangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Listriknya, sebanyak 600 MW, dialirkan sejauh 60 km dari Toba ke pantai Kuala Tanjung --lokasi pabrik Inalum.
BACA JUGA:Centang Satu
Anda sudah tahu: listrik hasil PLTA murahnya luar biasa. Maka Inalum sukses besar. Kalau saja listriknya dibangkitkan dengan BBM, maka biaya listriknya bisa 50 persen sendiri. Tapi tidak semua wilayah punya air terjun. Di Kalbar, Morowali, Halmahera tidak mungkin dibangun PLTA. Padahal di wilayah-wilayah itu kaya nikel dan bauksit.
Maka pilihannya tidak lain batubara. Tanpa batubara tidak mungkin nikel dan bauksit itu bisa dilakukan hilirisasi. Apa boleh buat. PLTU baru terpaksa diizinkan, khusus untuk mereka.
Siapa pemilik pabrik baru peleburan alumina di dekat Pontianak itu? Tiongkok lagi? Bukan! Pemiliknya adalah Inalum. Bersama Antam. Seratus persen BUMN. Tanpa pinjaman asing pula. Bahkan tanpa pinjaman bank dalam negeri.
Uangnya dari mana?
"Lho bapak lupa?" jawab Agus Tjahyana, seorang manajer proyek di situ.
"Apa hubungannya dengan saya?"
"Waktu bapak ambil alih Inalum dari Jepang uang kasnya kan banyak sekali..."
Tentu saya ingat. Tapi tidak benar kalau saya yang mengambil alih Inalum. Yang bekerja paling keras adalah menteri perindustrian waktu itu: Mohamad Hidayat. Terutama tim negosiasinya yang dipimpin sekjen Kementerian Perindusterian. Tentu kami semua mendapat restu dari Presiden SBY saat itu.
Waktu kita ambil alih sebenarnya pihak Jepang sangat keberatan. Jepang ingin sekali tetap menjadi pemilik Inalum --kontraknya minta diperpanjang.
Kami tidak perpanjang --dengan cara yang sangat baik. Jadilah milik BUMN sepenuhnya.
Keputusan Inalum untuk kemudian membuat pabrik bahan baku di Kalbar tentu bersejarah. Keputusan Inalum itu jauh lebih bagus dibanding Antam yang membangun smelter serupa di Tayan --juga di Kalbar tapi jauh dari pelabuhan besar.
Kebutuhan alumunium kita terus bertambah. Kian banyak barang terbuat dari alumunium. Perlu banyak lagi pabrik hilirisasi di Kalbar. Perlu ijin khusus lagi untuk menambah PLTU di lokasi lain. Kita sudah separo jalan menuju mandiri alumunium --kenapa takut Donald Trump dengan segala tarifnya. (Dahlan Iskan)