Bukhari Sukarno

Minggu 29 Jun 2025 - 17:08 WIB
Reporter : Eko Hatmono
Editor : Eko Hatmono

Zaman itu Islam ditumpas habis di Uni Soviet. Termasuk di Uzbekistan. Masjid-masjid dihancurkan. Apalagi madrasah. Makam Imam Bukhari sendiri menjadi seperti makam telantar.

Itu hanya sebagian benar. Banyak madrasah dan masjid peninggalan Ulugh Begh yang sebenarnya dihancurkan oleh Islam sendiri –yakni aliran Islam ekstrem yang tidak setuju dengan Islam liberal zaman Ulugh Begh.

Ini rupanya mirip dengan lahirnya gerakan Imam Al Ghazali sebagai reaksi atas kebablasannya Islam liberal di zaman keemasan Abbasyiah.

Sebagai teater, Imam Al-Bukhari dan Sukarno memang seperti pamflet, tapi tetap menarik. Apalagi hanya satu jam. Kalau pun membosankan toh tidak lama.

Memang tidak perlu dipersoalkan akurasi informasinya. Ini teater. Bukan sejarah. Misalnya pemain wanita dari Uzbekistan yang menarasikan sebagai saksi hidup peristiwa itu. Ia mengaku kini berusia 71 tahun. Pengakuan lain: saat itu ia berumur 10 tahun. Sudah mencatat peristiwa itu di buku hariannyi. Tentu tidak masuk akal.

Saya saja yang sekarang berusia 74 tahun saat itu baru berusia lima tahun.

Yang agak sulit dimengerti –tapi menarik bagi penonton– adalah dilatunkannya lagu Syubbanul Wathon. Panjang. Lengkap. Sampai ada penonton yang bertepuk tangan. Saya terkesan dengan adegan gerak yang menyertai Syubbanul Wathon.  Rasanya semua Banser NU harus bisa menirukan gerakan itu.

Sebagai pamflet teater ini berhasil. Istri saya tidak tertidur –padahal saat menonton film di bioskop selalu pulas. (DAHLAN ISKAN)

 

Kategori :

Terkait

Minggu 29 Jun 2025 - 17:08 WIB

Bukhari Sukarno

Sabtu 28 Jun 2025 - 20:06 WIB

Dasco Sicilia

Jumat 27 Jun 2025 - 17:03 WIB

Separo Jalan

Kamis 26 Jun 2025 - 19:02 WIB

Centang Satu

Rabu 25 Jun 2025 - 19:22 WIB

Rokok Amputasi