Sampai sekarang pun saya belum punya kesempatan menjelaskan latar belakang keputusan saya waktu itu. Yang jelas pilihan saya tersebut sangat tepat. Sampai sekarang mantan dirut itu masih tetap jadi orang hebat. Jadi menteri yang penuh prestasi.
Dalam menghadapi marahnya Pak Said tadi saya juga diam. Tidak berusaha menjelaskan mengapa koran perlu bersikap independen. Saat itu pun independen dianggap anti Golkar.
Saya terus saja mendengarkan kemarahan beliau. Pak Said tahu bahwa saya mendengarkan sungguh-sungguh. Saya sudah bertekad: berapa jam pun dimarahi akan tetap diam-pasrah seperti itu.
Terakhir Pak Said sampai pada puncaknya: mengancam akan menutup Jawa Pos. Ia bisa melakukan itu.
Saya tidak menunjukkan ekspresi kaget atau menantang. Beliau terus berkata-kata mengenai kekuasaan yang beliau miliki. Saya tetap diam. Maka beliau tegaskan: Jawa Pos akan ditutup.
BACA JUGA:Ujung Lorong
Setelah kata itu diucapkan, saya baru minta izin bicara. Pakai bahasa Jawa halus.
''Kalau Jawa Pos memang akan ditutup, saya pasrah. Setelah itu saya nganggur. Saya akan ikut kerja di Pak Said,'' kata saya lirih, sambil menunduk.
Beliau diam agak lama. Lalu berdiri. ''Ya sudah, boleh pulang,'' ujar beliau.
Saya pun menyalami tangan beliau dan menciumnya.
Saya pasrah apa yang akan terjadi. Saya tidak ceritakan pertemuan itu ke redaksi dan wartawan. Saya khawatir akan memengaruhi independensi mereka.
Yang jelas, setelah itu,.Jawa Pos baik-baik saja.
Menjelang Pemilu berikutnya saya dipanggil ke Progo 5. Itulah rumah Pak Said: di jalan Progo No 5 Surabaya. Itu sudah jadi rumah politik. Siapa saja yang ingin jadi apa saja harus sowan ke Progo.
''Ada apa ya?'' tanya saya lagi ke diri sendiri. Saya pasrah saja. Saya pun melangkah masuk ke Progo. Sudah ada dua-tiga orang di sana.
''Dik Dahlan kami calonkan sebagai anggota MPR dari unsur Golongan,'' ujar beliau. Saya kaget. Saya? Anggota MPR? Dari Golkar?
Tidak ada kata menolak.