Penumpang di depan saya kembali naik bus. Ajak saya turun. Juga mengajak satu penumpang lagi. Untuk sama-sama masuk resto setengah lungset itu. Saya lihat gambar-gambar besar yang dipajang: serba makanan Arab. Atraktif.
Yang mengajak saya itu orang Yaman. Tinggi, langsing, setengah baya, ganteng. Satunya lagi pendek, kecil, hitam, selalu bicara keras di HP. Ia orang Sudan.
BACA JUGA:Tirai Keluarga
Rupanya si Yaman tadi sudah memesan satu porsi nasi briyani. Porsinya besar. Satu nampan. Dua ekor ayam panggang menghiasi di atasnya. Ia perlu teman untuk menghabiskannya.
Tidak habis juga. Pun separonya.
Kami berlomba lari ke kasir. Si Yaman lebih dulu menjulurkan uang 100 riyal. Saya tepis tangannya. "Saya yang bayar," kata saya. Tidak hanya di dalam hati. Ia ngotot. Bahasa Arabnya lebih bisa dipahami kasir. Jadilah lagi-lagi saya makan gratisan. Pun nun di tengah padang pasir.
"Mau umrah?" tanya si Sudan setelah makan.
Saya mengangguk.
"Umroa juga?" tanya saya.
"La," jawabnya.
"Mau umrah juga?" tanya saya ke yang si Yaman.
"La," jawabnya.
Selesai makan, si Yaman bicara dengan awak bus yang lagi makan di lesehan sebelah. Ia memberi tahu awak bus bahwa saya mau umrah.
Saya paham: agar bus berhenti di tempat miqat. Yakni tempat di mana orang yang akan umrah harus ganti ke pakaian ihram. Tanpa pakaian ihram umrahnya tidak sah.
Saya memang sudah bawa pakaian ihram: dua lembar kain putih. 120 x 240 cm. Satu untuk bagian bawah badan. Satunya lagi untuk bagian atas. Tidak boleh ada pakaian dalam.
Ada aturan: bus umum harus berhenti di miqot kalau salah satu penumpangnya ada yang mau umrah.