James aktif berjuang untuk mengegolkan UU itu. Tapi gagal memasukkan kata 'digital'. Maka betapa kunonya UU tersebut di zaman digital ini. James hafal kelakuan para politisi di sekitar itu.
Padahal James dkk ingin menggunakan UU tersebut untuk melawan pembajakan lagu. Indonesia dianggap negara barbar di soal bajak-membajak lagu.
James pernah dapat momentum: ketika lagunya Presiden SBY pun dibajak. Maka ketika bertemu SBY James mengemukakan perlunya serius merazia lagu bajakan.
Berhasil. Polisi gencar melakukan operasi pembajakan lagu. James dan para artis menyambut gembira.
Tiga bulan.
Setelah itu kumat lagi seperti sedia kala.
Dengan memasukkan kata 'digital' di UU, James ingin memonitor penggunaan lagu di tempat-tempat bisnis secara digital.
Ia sudah mendapatkan programmer software. Karya anak bangsa sendiri. Murah. Waktu itu tidak sampai Rp 1 miliar.
James gagal melakukan digitalisasi. Program itu dianggap terlalu murah.
BACA JUGA:Tim Sukses
Belakangan ia tahu: ada yang ingin memproses pengajuan anggaran di atas Rp 100 miliar. Pakai software asing. James tidak mau tanda tangan.
Dengan digital itu sebenarnya bagi hasil bisa adil. Untuk para penyanyi dan pencipta lagu. Juga adil bagi cafe, bar, karaoke, restoran, hotel lembaga bisnis lainnya.
Semua bisa dimonitor: lagu apa saja yang diputar di mana. Siapa penyanyinya. Lalu pencipta lagu dan penyanyinya dapat bagian berapa.
Tanpa digitalisasi bagaimana mungkin bisa dilakukan.
Cara manual hanya akan memberi peluang penyelewengan di segala lini. Termasuk membuka permainan antara lembaga bisnis dan lembaga yang mengurus pembayaran hak cipta.
Main taksir.