Mungkin saja awalnya "hanya" penganiayaan namun korbannya tewas.
Kini perkara ini jadi ruwet karena salah satu yang dipenjara itu mengaku tidak terlibat sama sekali.
Ia tetap tidak mengaku biar pun sudah dipaksa. Ia juga mengaku tidak pernah mau menandatangani berita acara pemeriksaan, namun merasa aneh ketika di pengadilan tanda tangan itu ada.
Mungkin dari sini bisa dimulai penyelidikan baru; apakah tanda tangan itu palsu. Lalu terjadi salah tangkap. Mudah sekali pembuktiannya di zaman modern ini.
Hukuman seumur hidup untuk 7 remaja itu --sekarang mereka sudah pemuda sekitar 27 tahun-- sudah punya kekuatan hukum yang pasti.
"Si 15 tahun" yang merasa salah tangkap itu sudah naik banding tapi ditolak. Kasasinya pun ditolak.
Tapi masih ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Titin Prialianti, pengacaranya, harus dilakukan itu. Apa pun hasilnya.
"Jelas perlu ajukan PK," ujar Karni Ilyas, senior saya lainnya di TEMPO.
Saya hubungi Karni kemarin. Ia adalah wartawan yang menjadi pemicu lahirnya PK. Yakni setelah ia membongkar salah tangkap pada kasus Sengkon dan Karta pada 1997.
Tentu cerita film tidak harus dipercaya. Film adalah fiksi. "Memang fiksi terbaik adalah kalau memasukkan fakta-fakta nyata ke dalamnya. Dari segi itu film ini menjadi fiksi yang berhasil."
Itu yang mungkin akan dikatakan Prof Salim Said bila mengulasnya.
Terakhir, saya bertemu beliau di Makkah. Sama-sama umroh. Banyak tahun lalu.
Belakangan beliau sangat religius --namanya pun diubah menjadi Salim Haji Said --diambil dari nama almarhum Haji Said, ayahnya, dari Pare-Pare, Sulsel.
Kami pun selalu bersama di Makkah. Saya mengenang masa-masa jadi wartawan magang di TEMPO.
Beliau begitu urakan, khas seniman, bicaranya berapi-api, lucu dan tengil. Rasanya di masa mudanya ia tidak terlalu percaya Tuhan.
Kini tinggal sedikit senior saya para pendiri TEMPO: Gunawan Mohamad masih sehat di usianya yang 84 tahun.