Gelap Cahaya
--DISWAY
Usai Rayuan Pulau Kelapa, si jilbab asal Belitung Timur, Gita Wulan Suci, maju. "Saya mau nyanyi dangdut," katanyi. Saya menebak-nebak dangdut yang mana. Kalau cocok saya akan jadi penari latarnya –pakai gerakan senam dansa.
Ternyata dia mengalunkan lagu Rungkad. Cocok. Ada gerakan senam dansanya. Lalu Poco-Poco. Cocok. Disambung Maumere. Tambah cocok. Semua lagu itu saya hafal gerakannya.
Mereka pun mengikuti gerakan itu di belakang saya. Di lantai dua resto Bandung itu.
Kok semua lagunya Indonesia. Saya pun minta lagu Xiao Ping Guo. Apel kecil. Gerakannya agak mengentak.
Lagi asyik mengentak-entak, ketua Persaudaraan Indonesia ''Warung Kopi'', Christopher Tungka, teriak ketakutan. Ia khawatir lantai dua ini roboh. Apalagi para mahasiswa ikut pula mengentak-entakkan kaki.
Ini memang bangunan tua. Pantas khawatir. Semua bangunan di kawasan ini bangunan tua. Kota tua. Yakni kota tua yang diberdayakan menjadi pusat turisme yang sangat ramai. Tidak boleh ada kendaraan memasuki kawasan ini. Mobil maupun motor.
Acara pun diakhiri dengan lagu Kemesraan. Sudah pukul 21.00. Sebagian dari kami harus kembali ke kota Fuqing.
Saya diantar oleh Gina Dewi dengan mobil BMW-nyi. Dia jauh-jauh datang dari Xiamen untuk acara itu: nyetir mobil tiga jam. Lalu nyetir lagi satu jam mengantar saya pulang ke Fuqing.
Gina termasuk 5-i. Usahanyi di bidang sarang burung. Sarang burungnyi didatangkan dari Indonesia. Lalu dia kemas dengan merek perusahaannyi.
Gina asli Surabaya: Petra Kalianyar. Dia kuliah di Quanzhou dekat Xiamen. Di situ bertemu lelaki idaman yang kini jadi suaminyi.
Saat turun dari lantai dua resto Bandung saya punya perasaan menyesal. Saya menuruni tangga kayu dengan perasaan bersalah. Tiba di lantai bawah saya mendongak ke atas. Kalau lantai itu tadi runtuh....(Dahlan Iskan)