Ikut Cucu
--
Hari kedua mereka ingin ke Tian An Men dan Istana Terlarang. Saya ingat apa yang terjadi 10 tahun lalu. Maka saya cegah istri. Jawabnyi itu tadi. Ingin kumpul cucu-cucu yang lucu.
Tidak ada jalan lain: malam itu juga saya putuskan beli kursi roda. Yang paling sederhana saja. Ada teman di Beijing yang bisa membelikannya secara online. Malam itu juga bisa diantar ke hotel.
Dengan kursi roda itu saya bisa keliling Istana kuno itu tuntas. Dari depan sampai taman di belakang. Waktu dengan istri dulu hanya lihat separo. Begitu besar. Baru dapat setengah sudah kelelahan.
Kali ini saya lihat wajah istri yang bahagia.
BACA JUGA:Coblos Kapan
Lima tahun lalu sebenarnya keinginan pergi bersama seluruh keluarga sudah terpenuhi. Tapi gagal di tengah jalan. Kami berhasil tiba di Madinah. Umrah bersama. Tapi di Madinah saya mendadak sakit.
Kami gagal bersama-sama ke Makkah.
Saya dan istri terpaksa balik ke Surabaya. Hanya anak-menantu-cucu yang lanjut ke Makkah. Pun di Surabaya tidak ditemukan penyebab sesaknya dada saya. Ternyata pembuluh darah utama saya (aorta) pecah. Sepanjang 50 cm.
Setelah itu baru kali ini bisa bersama-sama lagi. Kaki harus kuat. Harus naik-turun di stasiun bawah tanah, ganti-ganti kereta dan antrean yang panjang. Tiap pagi saya harus tetap sport dansa agar kaki sekuat mereka.
Kursi roda itu pun kami bawa naik kereta cepat: Beijing-Shanghai. Kemarin. Mereka baru kali pertama naik kereta cepat sejauh itu: 4,5 jam. Sejauh Jakarta-Medan atau Jakarta-Makassar.
Dalam hidup sesekali ikut maunya cucu. Kecuali satu: ikut naik roller coaster. (Dahlan Iskan)