Bukhari Sukarno

Salah satu adegan dalam pementasan tablo teater Imam Al-Bukhari & Sukarno di Balai Budaya, Alun-Alun Surabaya, Sabtu, 27 Juni 2025.-- FOTO: MOCH SAHIROL-HARIAN DISWAY
Dalam hal itu Bung Karno rupanya seide dengan Hasan: terlalu banyak hadis lemah –tidak jelas apakah ajaran itu benar-benar pernah dilakukan dan diucapkan Nabi Muhammad atau tidak. Akibatnya, kata Bung Karno, banyak rakyat percaya takhayul –dikira sesuai dengan ajaran Islam. Dari situ terjawablah mengapa umat Islam sulit maju
Hadis yang pasti bisa dipegang kebenarannya adalah yang dihimpun oleh Imam Al-Bukhari. Juga yang dihimpun Imam Muslim. Dan beberapa lagi.
Imam Al-Bukhari sendiri bukan orang Arab. Sang Imam hidup sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat. Imam Bukhari orang Asia Tengah. Ia tekun menelusuri sumber ajaran agama yang dipegang umat Islam saat itu. Ia pun melakukan pemilahan. Mana ajaran yang benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad dan mana yang bukan. Lalu ia menyisihkan dan membuang ribuan ''ucapan Nabi'' yang beredar di masyarakat –karena setelah ia telusuri ternyata sangat diragukannya.
BACA JUGA:Separo Jalan
Begitu terkesannya dengan Imam Bukhari sampai-sampai Bung Karno bermimpi. Dalam mimpinya itu Bung Karno bertemu Nabi Muhammad. Dalam mimpi itu Nabi bertanya: kamu akan ke mana? "Akan menemui Imam Bukhari," jawab Bung Karno. "Sampaikan salam saya kepada Imam Bukhari," ujar Nabi dalam mimpi itu.
Dalam teater, narasi itu ditulis dalam teks yang terpampang di layar di sebelah panggung. Teks itu tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Uzbekistan.
Rupanya sejak mimpi itu Bung Karno ingin ziarah ke makam Imam Bukhari. Bung Karno berhasil mendikte negara adikuasa sebagai syarat mau menerima undangannya.
Nama Bung Karno memang mendunia di tahun itu. Setahun sebelumnya Bung Karno sukses menyelenggarakan KTT Asia Afrika di Bandung. Uni Soviet ingin menarik Bung Karno ke orbitnya agar tidak ditarik ke orbit adikuasa satunya: Amerika Serikat.
Maka setelah ke Moskow dan St Petersburg, Bung Karno ke Tashkent, ibu kota Uzbekistan. Dari teater ini saya baru tahu: perjalanan Bung Karno dari Tashkent ke Samarkand ternyata naik kereta.
Saya ke Samarkand naik pesawat. Ikut pesawat kepresidenan Soeharto. Tahun 1989. Di tahun 1956 belum ada pesawat dari Tashkent ke Samarkand.
Adegan Bung Karno dan rombongan naik kereta api cukup menarik. Di situ delegasi Indonesia kelihatan naik kereta ekonomi. Di zaman itu tidak ada kelas eksekutif. Pilihannya hanya dua: ekonomi atau kereta malam –ada tempat tidur susun. Yang terakhir itu hanya untuk jarak jauh.
Kereta api Tashkent-Samarkand ''hanya'' enam jam. Zaman itu masih pakai lokomotif yang dijalankan dengan batu bara. Benar-benar masih kereta api. Lokomotif diesel memang sudah ada tapi baru mulai ada. Baru untuk jalur-jalur utama.
Dari adegan di makam Imam Bukhari saya juga baru tahu: Bung Karno berziarah di malam hari yang gelap. Anda pun belum tahu: Bung Karno memasuki makam itu dengan ''laku ndodok''. Yakni berjalan dalam posisi jongkok.
Jalan model begini biasa dilakukan di keraton Jawa. Juga saya lakukan di masa kecil –saat akan mendekati nenek atau orang yang dituakan. Di setiap Lebaran, anak-anak muda harus bisa melakukan ini di acara sungkeman halal bihalal. Yang tidak bisa akan jadi bahan tertawaan dan olok-olok. Wanita lebih sulit melakukannya karena pakai kain jarit kebaya.
Saya terkesan dengan cara Bung Karno dan para menterinya laku ndodok di makam itu. Termasuk menteri J. Laimena yang bukan Jawa dan bukan Islam. Sutradara Ahmad Fauzi dan produser Restu Imansari berhasil menciptakan adegan ''laku ndodok'' dengan uniknya –lebih unik dari aslinya.