Tidak pernah ada masalah. Padahal, bayangan saya, akan sangat kisruh. Apalagi ini rombongan 12 orang. Pemimpin semua. Bisa banyak pendapat. Banyak usul. Bingung. Ruwet. Begitu banyak kereta. Begitu sesak manusia.
Maka kesepakatan utama adalah: satu komando. Yang lain ikut. Termasuk yang paling tua. Pun bila putusan itu ternyata salah. Kan bisa dikoreksi.
Satu-satunya '’chaos'’ hanya terjadi di Beijing. Saat bersamaan dengan orang pulang kerja. Kereta sangat penuh. Untuk bisa masuk harus mendorong orang yang berjejal di dekat pintu masuk. Yang akan keluar pun terhambat.
Anda sudah tahu: kereta bawah tanah hanya berhenti setengah menit. Harus jalan lagi. Begitu berdesakan.
Sekali itu terjadi, saat harus turun kereta, hanya 6 dari 12 orang yang bisa keluar. Pintu kereta pun menutup otomatis. Kereta berjalan lagi.
Tidak ada yang panik. Yang di dalam malah melambaikan tangan '’da da'’ sambil tertawa.
"Tunggu di situ. Kami akan balik di pemberhentian depan," tulis salah satu di grup WA keluarga. Kami pun menunggu. Toh tidak ada jadwal rapat seperti biasanya.
Tidak sampai lima menit mereka sudah tiba kembali dari kereta arah berlawanan.
Saya menyukai perjalanan ini. Saya bisa melihat karakter seluruh anggota keluarga. Sangat jarang kesempatan seperti ini.
Saya tahu hampir semua pengusaha besar mewajibkan seluruh anggota keluarga rekreasi bersama. Setahun sekali. Sampai dua minggu. Bukan hanya untuk hiburan. Yang utama adalah untuk '’menyatukan’' banyak perbedaan dalam keluarga.
Bagi pengusaha, perbedaan dalam keluarga itu sangat berbahaya. Terutama bagi kelangsungan bisnis mereka. “Untuk apa sukses di bisnis tapi berantakan di keluarga”.
Maka pergi bersama adalah bagian dari manajemen anti-konflik keluarga. Apalagi kalau sudah mulai ada unsur menantu, cucu dan kelak para suami atau istri para cucu itu.
Mahalnya rekreasi sekeluarga mereka anggap lebih murah dari bahaya berubahnya perbedaan menjadi pertengkaran.
Bagi kami kereta bawah tanah yang murah telah menyatukan perbedaan keluarga kami. Terutama perbedaan siapa yang suka sate Xinjiang dan siapa yang suka minuman Hay Tea.
Dan mereka ternyata bisa bersatu dalam hal tidak suka Luck'in Coffe –satu-satunya kafe yang sukses bisa mengalahkan Starbucks di Tiongkok. (Dahlan Iskan)