Miskin Bermartabat

Selasa 25 Feb 2025 - 17:24 WIB
Reporter : Eko Hatmono
Editor : Eko Hatmono

Kami pun ngobrol sambil berdiri. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada gasebo. Tidak ada tempat berteduh.

"Kami lahir di desa ini. Besar di Addis Ababa. Sekarang tinggal di Toronto".

"Sering ke sini?"

"Sering. Sesekali".

Jelaslah mereka masih keturunan yang dimakamkan di situ. Obrolan selesai.

Lapar.

Saya pun minta dibawa ke warung terbaik. Ini soal kesehatan benda yang akan masuk ke perut.

Maka saya dibawa ke warung itu. Lihat foto depannya. Saya ditawari makanan lokal tapi tidak mengerti. Juga tidak mau berjudi. Saya pilih saja roti epek. Roti gapit. Telur dadar (putihnya saja) dijepit di dua belahan roti.

Si Gus Pemandu menolak untuk ikut makan. Lalu setengah saya paksa. Tetap menolak. Ia lulusan D2 bahasa Inggris di kota kecil dekat desanya.

"Puasa?"

"Tidak".

"Pesanlah makanan apa saja yang Anda suka".

"Tidak".

Miskin tapi bermartabat. Cocok dengan motto saya dulu. Anda tentu masih ingat apa lanjutan motto "Miskin Bermartabat" itu --yang pernah saya kampanyekan dulu.

Yang disajikan beda dengan yang saya maksud. Telurnya masih pakai kuningnya.

"Tolong sampaikan, yang saya inginkan tidak seperti ini. Jangan pakai kuning telur," pinta saya kepada si Gus.

Kategori :

Terkait

Sabtu 03 May 2025 - 16:53 WIB

MBG Rizhao

Jumat 02 May 2025 - 17:02 WIB

Dokter Konsumen

Kamis 01 May 2025 - 17:03 WIB

Liburan Wu-Yi

Rabu 30 Apr 2025 - 16:29 WIB

Barong Bola

Senin 28 Apr 2025 - 17:24 WIB

Monorail Mau