Pun kereta tanpa rel yang dipakai di IKN saat 17 Agustusan lalu. Itu buatan langsung CRRC Qingdao. Bukan buatan cabangnya yang di Hunan.
Saya pun ingat bahwa di zaman penjajahan dulu Qingdao dikuasai oleh Jerman.
Di Qingdao Jerman membangun industri kereta api. Dengan teknologi Jerman.
BACA JUGA:Bupati Syamsul Lepas Atlet, Pelatih hingga Wasit Rejang Lebong untuk PON XXI Aceh-Sumut
Ketika Qingdao kembali ke ibu pertiwi Tiongkok, pabrik kereta api Jerman itu diteruskan Tiongkok. Dikembangkan. Jadilah raksasa industri kereta cepat dunia.
Di Qingdao Jerman juga mengembangkan pabrik bir. Bir terkemuka di Jerman. Beck's Beer.
Kelak, setelah Qingdao kembali ke pangkuan Tiongkok, pabrik bir itu dipertahankan. Dikembangkan. Mereknya diganti. Terkenal ke seluruh negeri. Anda sudah tahu ini: ???? (Qingdao Beer). Seperti Nelanda meninggalkan warisan Heineken Beer yang menjadi Bir Bintang.
Sampai sekarang belum ada lulusan ITC Center yang bekerja di kereta cepat. Sebelum lulus pun mereka sudah banyak di-inden perusahaan Tiongkok lainnya yang ada di Indonesia.
Penerima beasiswa ITC Center tahun ini lebih merata. Dari berbagai kabupaten di Indonesia. Mulai dari Gunung Sitoli sampai Biak di Papua. Dari Aceh, Padang, sampai Nunukan. Yang terbanyak dari Kaltara. Sedang dari Papua merosot drastis: tinggal dua orang.
BACA JUGA:Bupati Kopli Targetkan Tahun 2025 Jalan Lingkungan Mulus 100 Persen
Tahun-tahun sebelum Covid yang dari Papua dominan. Bisa sampai 40 orang.
Saya pun bertanya kepada Andre So, staf di ITC Center yang sering keliling pesantren mencari penerima beasiswa.
Jawabnya: "Penurunan mahasiswa dari Papua terkait dengan tidak turunnya dana otonomi khusus dari pusat". Dulu Pemda di Papua menggunakan sebagian kecil dana otsus untuk mereka.
Para mahasiswa asal Papua itu umumnya mengambil jurusan kedokteran.
Jumlah calon mahasiswa dari pesantren juga terus bertambah. Pondok Tebuireng, Jombang; Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto; Pesantren Modern Tursina, Malang; Bumi Sholawat, Sidoarjo; Sidogiri, Pasuruan adalah langganan ITC Center. Andre So sudah pandai berkopiah ketika keliling pondok pesantren.
Salah satu yang juga hadir di acara kemarin adalah KH Yusuf Daud. Seorang sufi. Masternya di bidang Islamic Mysticism dari ICAS London. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Italia, dan Jerman. Salah satu bukunya: Menembus tujuh lapis langit.