Tanpa pikir panjang, saya membelinya.
Hebat benar ya pramuniaga ini, bisa menebak isi kantong eh dompet saya.. ha ha.
Prosesnya lama, liontin permata itu dibawa masuk ke dalam oleh pramuniaga tadi. Katanya mau difoto dan dibuatkan sertifikat.
Saya bertanya, "apakah emas ini bisa dijual kembali di Jakarta?". Lalu Ia menjawab "untuk apa beli kalau untuk dijual lagi?
"Maksud saya, apakah emas ini laku dijual di tempat lain? Bisa, ia hanya menyebutkan satu daerah di Jakarta-Glodok.
Saya tidak tahu apakah pada saat itu istri Mas Nanang –Mbak Tari– juga terjebak membeli seperti saya, tidak sempat saya tanyakan.
Belakangan ibu saya mendatangi sebuah toko emas di Depok. Beliau bermaksud untuk menjual perhiasan itu sekaligus memastikan apakah emas yang dilengkapi sertifikat itu laku dijual.
Ternyata tidak laku. Beliau tunjukkan sertifikat pembeliannya. Juga tidak ada pengaruhnya. Kadar emasnya tidak sesuai kriteria. Permata yang terlihat berkilau itu hanya aksesori yang bernama zirconia.
Tidak menyerah, ibu ke toko yang lain. Juga tidak mau terima.
Puji Tuhan, seorang inang-inang yang duduk di emperan toko emas itu menjadi penolong. Dia mau membelinya dengan harga Rp 800.000. Tidak mau lebih. Permatanya dilepas saja. Tidak berharga.
"Ini hanya serpihan seperti kaca," katanya.
Bagi saya, memiliki ''emas'' ternyata bukan sebuah investasi. Mengalami kerugian sebesar Rp 1.200.000 bukanlah suatu penyesalan. Saya menganggap itu sebagai sebuah pembelajaran yang berharga.
Pun pembelian emas Antam 6 ton oleh pengusaha Surabaya itu juga sebuah pembelajaran. (*)