Radarkoran.com - Dalam budaya masyarakat Indonesia, setelah menikah, tidak sedikit nama istri ditambah dengan nama suami di belakang.
Praktik penambahan nama suami di belakang nama istri menjadi fenomena yang lazim ditemui. Dan menunjukkan bahwa yang bersangkutan sudah bersuami juga memudahkan identifikasi dengan nama yang sama. Tradisi ini untuk memudahkan pengenalan dalam lingkungan baru, terutama ketika seorang istri mengikuti suami ke suatu wilayah.
Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap praktik ini? Apakah ada dalil yang melarang atau membolehkannya? Dengan merujuk pada fatwa, ayat Al-Qur’an, hadis, serta realitas budaya masyarakat Indonesia.
Menurut fatwa Tarjih Muhammadiyah menyimpulkan bahwa tidak ada hadis yang secara eksplisit melarang penambahan nama suami di belakang nama istri. Praktik ini dikategorikan sebagai bagian dari ‘urf atau kebiasaan masyarakat, selama nama yang ditambahkan memiliki makna yang baik
Nama dalam Islam memiliki fungsi penting sebagai alat untuk saling mengenal, sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an, Surah al-Ahzab ayat 5 yang artinya :
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
BACA JUGA:Sunnah Bersihkan Kasur Sebelum Tidur dalam Islam: Ini Penjelasannya!
Ayat ini turun berkaitan dengan kisah Zaid bin Haritsah, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir. Pada masa Jahiliyah, anak angkat seperti Zaid dipanggil dengan nama ayah angkatnya, misalnya “Zaid bin Muhammad”.
Namun, Allah melarang praktik ini karena dapat menghapus hak dan kewajiban ayah kandung. Ayat tersebut menegaskan bahwa nasab harus tetap terjaga, dan jika ayah kandung tidak diketahui, seseorang dapat dipanggil sebagai saudara seagama atau dengan nama lain seperti bin fulan
Namun, perintah ud’uuhum li abaaihim (panggil mereka dengan nama ayah mereka) tidak bersifat mutlak. Dalam konteks perkembangan zaman dan tradisi masyarakat, perintah ini dapat disesuaikan selama tidak bertentangan dengan syariat.
Di Indonesia, penambahan nama suami di belakang nama istri tidak bertujuan untuk mengubah nasab, melainkan hanya untuk memudahkan pengenalan dalam lingkungan sosial.
Praktik ini berbeda dengan penisbatan yang dilarang dalam Al-Qur’an. Penisbatan yang diharamkan adalah ketika seseorang secara sengaja mengganti nasab dengan menggunakan bin atau binti diikuti nama selain ayah kandung.
Sebagai contoh, fatwa ulama Arab Saudi mengharamkan penambahan nama suami di belakang nama istri karena tradisi di sana selalu menyertakan bin/binti dalam penamaan, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman nasab. Hal ini diperkuat oleh hadis dalam Shahih al-Bukhari:
“Dari ‘Aisyah r.a., bahwa orang-orang Quraisy menghadapi masalah tentang seorang wanita suku Makhzumiyyah yang mencuri… Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.”(H.R. al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan pentingnya menjaga identitas nasab yang benar, seperti “Fatimah binti Muhammad”. Oleh karena itu, ulama Arab Saudi mengharamkan penambahan nama suami yang berpotensi mengaburkan nasab. Sebaliknya, ulama Mesir membolehkan praktik ini dengan syarat tidak mengubah nasab dan hanya bertujuan memudahkan panggilan.