Oleh: Dahlan Iskan
Seorang pengusaha besar batal membangun pabrik keramik di Jateng: tidak tersedia gas di Jateng.
Industri besar yang perlu bahan bakar, sangat tergantung pada gas: energinya spontan, bersih dan lebih murah dibanding minyak solar.
Itu dua tahun lalu. Gubernur Ganjar Pranowo termasuk agak sial di bidang ini: ekonomi Jateng seperti tersandera oleh gas.
Sebagai gubernur ia tidak bisa mengadakan gas sendiri. Sangat tergantung pada belas kasihan pusat.
Pusat sendiri sebenarnya sudah lama merencanakan pembangunan pipa gas yang melewati Jateng. Sudah sejak 2006.
Saat itu pipa gas dari Sumatera sudah digelar menyeberangi Selat Sunda. Gas dari sumbernya di Sumatera sudah bisa dikirim sampai Bekasi. Lalu sampai Cirebon.
BACA JUGA:Tambang Saham
Sebenarnya tinggal menyambungnya ke Semarang. Tinggal sekitar 200 km lagi. Tapi rencana itu tidak segera terwujud. Tertunda lebih 15 tahun.
Dari Semarang sebenarnya sudah ada pipa gas ke arah timur. Sampai ke Randublatung, Blora. Dari Randublatung sudah lama tersambung sampai ke Gresik di Jatim.
Sudah pula menyeberangi selat Madura. Sampai Sumenep, tepatnya sampai Kangean. Lalu sudah pula tersambung sampai ke Probolinggo.
Tinggal Semarang-Cirebon yang tidak segera terbangun. Kasihan Jateng. Kasihan Ganjar.
Pipa gas memang bisa cepat tersambung bila ada motif ekonomi yang kuat. Pipa gas Blora-Semarang misalnya. Cepat sekali terbangun. Itu karena pipa tersebut bisa langsung membuat PLN Tambak Lorok berhemat ratusan miliar rupiah setahun.
Sayangnya pipa gas Blora-Semarang itu tidak mampir ke Demak. Kawasan industri Demak sebenarnya tinggal membuat percabangan di tengahnya. Gubernur Jateng-lah yang harus berjuang untuk terwujudnya percabangan itu.
Kemarin, dalam perjalanan dari Jakarta ke Mojokerto saya dapat kabar gembira untuk Ganjar Pranowo: tender proyek pemasangan pipa gas dari Cirebon ke Batang sudah terlaksana. Sudah menghasilkan pemenang.