Mobil Handphone

BYD Denza bersama anggota Senam Dahlan Iskan.----
BACA JUGA:Tarif Tarifan
Mungkin lomba dengan diri sendiri itu sudah menjadi bagian dari jiwa saya: suka bersaing. Termasuk dengan diri sendiri.
Dulu, sewaktu Pak Iskan sakit keras, saya juga bersaing dengan diri sendiri. Pak Iskan sakit di rumah adik saya di kompleks Perumnas Madiun. Tiap hari saya harus setir mobil sendirian dari Surabaya ke Madiun. Masih pakai Jaguar bensin.
Tiap hari saya baru bisa berangkat pukul 12.00 malam. Yakni setelah Jawa Pos siap masuk ke percetakan. Di hari pertama saya catat: jarak itu perlu saya tempuh berapa lama. Tiga jam. Belum ada jalan tol.
Maka di hari kedua saya bertekad untuk bisa lebih cepat. Pun di hari ketiga dan seterusnya. Dengan bersaing seperti itu saya tidak merasa bosan di perjalanan. Juga bisa menahan kantuk.
Setelah lebih seminggu akhirnya saya mencapai rekor tercepat: 2,5 jam. Lalu 2 jam 20 menit. Selesai. Ayah saya meninggal dunia.
Membandingkan mobil bensin dan listrik punya kelebihan masing-masing. Pun kelemahannya. Tapi untuk keperluan menambah kecepatan, mobil listrik menang jauh. Apalagi kalau untuk menyalip kendaraan lain. Joss.
Jumat kemarin saya harus ke Lasem. Ada acara ulang tahun dewa yang menjaga klenteng di Lasem. Saya menggunakannya untuk tes mobil listrik yang baru: Denza. Yang penjualannya sudah lebih laris dari Alphard.
Menurut buku, kapasitas listrik Denza bisa untuk 600 km. Jarak Surabaya-Lasem sekitar 200 km. Berarti P/P 400 km. Mestinya cukup.
Persoalannya: hari itu Denza, grup BYD, diisi enam orang. Itu ikut menentukan boros-tidaknya listrik. Kian berat beban kian boros.
Begitu sampai di Lasem, Kang Sahidin lihat grafik pemakaian listrik: baru terpakai 44 persen. Berarti aman. Pulangnya akan perlu sekitar 44 persen juga.
Tidak. Kami memutuskan pulang ke Surabaya lewat jalur lain: Randublatung-Ngawi. Bupati Blora yang masih muda bertekad menjebol isolasi Randublatung. Caranya: membangun jalan dari Randublatung ke tol Ngawi. Orang Blora bisa ke Solo lebih cepat lewat Ngawi.
Jalan tembus itu berhasil dibangun. Ia terpilih lagi. Saya ingin merasakan jalan itu. Lewat pukul 00.00 kami berada di jalur itu. Lewat tengah hutan milik UGM. Para mahasiswa fakultas kehutanan UGM melakukan penelitian di situ.
Yang berat dalam membangun jalan tembus itu adalah: harus membangun jembatan untuk melintasi Bengawan Solo. Posisinya dekat museum manusia purba, Trinil.
Jarak yang harus kami tempuh lebih jauh. Maka begitu masuk tol Ngawi Kang Sahidin ngebut. Agar jangan sampai tiba di Surabaya setelah subuh. Pagi itu harus tetap olahraga.