Maraton Pilpres

Pelari New York City Marathon 2021 membantu pelari lain yang terjatuh.--CTV News

Oleh: Dahlan Iskan

ANDA sudah hafal cerita ini. Banyak ditulis di medsos. Juga diajarkan di sekolah-sekolah etika. Di pengajian. Di penginjilan. Yakni soal pelari maraton atau pembalap sepeda. 

Pelari dari Afrika selalu di depan. Jauh. Meninggalkan pelari negara-negara lain. Pun yang di urutan nomor dua: jauh tertinggal di belakang si Afrika. 

Mungkin karena kelelahan si pelari Afrika mengira sudah sampai garis finish. Ia berhenti berlari. Duduk. Lalu rebahan. Gemuruh tepuk tangan ia kira merayakannya sebagai juara. 

Ketika pelari urutan kedua mendekati finish ia juga berhenti. Ia raih tangan pelari Afrika. Agar bangkit. Berlari lari. Tinggal beberapa langkah lagi mencapai finish. Maka si Afrika tetap jadi juara. Yang di urutan kedua tetap runner-up  meski kesempatan menjadi juara begitu besarnya. 

"Mengapa Anda lakukan itu?" tanya wartawan ke yang runner-up. "Saya sudah melakukan yang terbaik," jawabnya. 

"Kenapa Anda tidak mau jadi juara?" tanya wartawan lagi.

BACA JUGA:Jaga Hati

"Untuk apa? Ia-lah yang memang layak jadi juara. Bukan saya," jawabnya lagi. 

Banyak versi cerita mirip itu. Anda pun bisa membuat versi Anda sendiri. Intinya: etika harus dijunjung tinggi. Sportivitas harus diutamakan. Juga harus dibiasakan. Bahkan diajarkan secara turun-temurun. 

Beberapa versi cerita serupa banyak muncul lagi belakangan ini. Sebelum dan sesudah putusan mahkamah konstitusi  yang menolak gugatan pasangan Anies Baswedan dan pasangan Ganjar Pranowo. Akibat penolakan itu sahlah sudah: Prabowo Subianto menjadi presiden terpilih Indonesia dan Gibran sebagai wakil presiden. Tinggal tunggu pelantikannya Oktobet depan. 

Anda pun tahu: apa maksud cerita seperti itu dimunculkan kembali. Intinya: mengapa dalam pemilihan presiden tidak terjadi penegakan etika seperti di cerita maraton tadi. Lalu akan jadi apa bangsa ini ke depan: bangsa tanpa moralitas. 

Tentu Pilpres bukanlah sebuah lomba maraton meski lelahnya lebih hebat. Menjadi juara maraton merupakan kebanggaan personal. Dampaknya juga lebih banyak personal. 

Beda dengan Pilpres. Juaranya akan menjadi presiden sebuah republik besar. Sang juara menentukan nasib 270 juta rakyat Indonesia. Maka dalam  lomba balap  presiden menjadi juara bukanlah tujuan utama. Yang terpenting adalah: mau apa setelah jadi juara. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan