BACA JUGA:Akar Global Inisiatif Dorong Perlindungan Masyarakat Adat Enggano
"Sudah belasan tahun, RUU Masyarakat Adat tertahan karena tidak ada iktikad baik dari negara. Karena itu, kami meyakinkan diri kalau Presiden Prabowo, punya iktikad ini," katanya.
Fahmi menyebutkan, sejak terbitnya putusan MK Nomor 35 Tahun 2012, yang telah mempertegas kepemilikan wilayah masyarakat adat. Mereka telah mendorong terbitnya Peraturan Daerah terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di daerah itu.
Setidaknya saat ini, sudah ada tiga kabupaten yang menerbitkannya, yakni Kabupaten Lebong, Rejang Lebong dan Seluma. Di Lebong dan Rejang Lebong, berdasar hasil identifikasi komunitas adat, tercatat ada 13.964 hectare Kawasan hutan yang sejak lampau dimiliki oleh masyarakat adat.
Namun, praktiknya meski telah memiliki perda perlindungan, implementasi dan aksi dari usulan itu tak menjadi acuan pemerintah setempat.
"Karena itu, RUU Masyarakat Adat perlu menjadi pemayungnya. Kalau tidak ada itu, ya percuma. Artinya, pemerintah setengah hati mengakui dan melindungi masyarakat adatnya sendiri," kata Fahmi.
Situasi di Bengkulu, lanjut Fahmi, setumpuk konflik utamanya terkait agraria kini tersimpan dan berpotensi meletup setiap waktu. Mulai dari sektor perkebunan, pertambangan sampai ketidakjelasan soal tata batas hutan telah menjadi bara konflik di kampung-kampung. Sementara di sisi lain, buah dari konflik itu telah muncul dan membekap setiap komunitas adat yang ada di kampung-kampung.
"Di kampung-kampung kini, tak ada lagi petani yang sejahtera. Mereka diusir dari tanahnya, dijadikan buruh, dan dikucilkan dari tanah moyangnya," kata Fahmi.
BACA JUGA:Kirab Bendera Merah Putih, Ribuan Warga Bengkulu Padati Simpang Monumen Fatmawati
Catatan AMAN Bengkulu, dari 68 komunitas adat yang ada di Bengkulu. Seluruhnya sedang berkonflik terkait hak mereka. Ada yang berhadapan dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit, lalu konflik soal penetapan kawasan hutan negara. Kemudian Izin Usaha Pertambangan serta soal wilayah adat mereka yang dianggap masuk dalam kawasan hutan negara.
"Di Seluma ada soal pasir besi. Belum soal sawit. Di pulau Enggano pun tak luput dari masalah. Pulau kecil ini akan dimasuki investasi yang meraup wilayah adat orang Enggano," kata Fahmi.
Dari itu, lanjut Fahmi, sebagai bentuk penyampaian aspirasi. Mereka mendorong pemerintah segera memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat adat yang sudah 14 tahun mandek di DPR.
Sebab, selain sebagai bentuk komitmen negara untuk mengakui keberadaan entitas asli bangsa Indonesia yakni masyarakat adat. Juga sebagai jalan tengah penyelesaian beragam konflik agraria yang sudah mengemuka mau pun yang kini masih terpendam dan menunggu waktu meletup.
"Presiden harus ambil peran. Ini usulan murni untuk kebaikan bangsa, bukan untuk kepentingan orang atau golongan tertentu," kata Fahmi. Bentuk Kementerian Khusus untuk Masyarakat Adat
Sementara itu, perwakilan Dewan AMAN Nasional Deftri Hardianto mengatakan, pemerintah sejauh ini baru menjalankan mandat dari putusan MK nomor 35 Tahun 2012 terkait hak atas wilayah adat masih sangat jauh dari harapan.
Kebijakan lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja baru mencapai 75.783 hektar untuk pengembalian hutan adat.