Wahai Presiden, Kami Masyarakat Adat Sudah Cukup Bersabar
Masyarakat adat meminta pemerintah membentuk kementerian khusus untuk masyarakat adat.--FOTO/ILUSTRASI
Radarkoran.com - Ratusan warga dari perwakilan komunitas adat di Provinsi Bengkulu bersama ribuan masyarakat adat lainnya menggelar aksi simpatik untuk mendesak pemerintah menepati janji agar mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah mandek sejak 14 tahun lalu di Jakarta, Jum'at 11 Oktober 2024.
"Kepada presiden yang baru, 14 tahun bukan waktu sebentar kami bersabar. Ini cuma soal iktikad saja. Dan kami percaya di tangan Presiden Prabowo, ada iktikad baik untuk masyarakat adat," kata Endang Setiawan, perwakilan komunitas adat Tana Serawai di Kabupaten Seluma, Bengkulu.
RUU Masyarakat Adat, sejak 2003 telah diusulkan ke pemerintah dan DPR untuk menjadi salah satu usulan undang-undang. Namun baru pada tahun 2010, naskah akademik atas RUU tersebut masuk di DPR dan beberapa kali masuk dalam daftar program legislasi nasional.
Namun demikian, sampai kini, RUU yang menjadi payung pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu tak jua menjadi perhatian.
Di Bengkulu, lanjut Endang, sederet konflik utamanya terkait tanah dan hak masyarakat adat. Selalu menjadi masalah pelik.
"Di Seluma misalnya, tanah-tanah kini nyaris habis untuk perkebunan sawit. Sementara, orang-orang di kampung, sudah tidak ada lagi yang punya lahan. Ada lahan milik leluhur, itu pun dicaplok untuk HGU perkebunan," katanya.
BACA JUGA:Masyarakat Diimbau Jaga Stabilitas Sosial dan Kondusifitas Daerah
Agus Setiawan, perwakilan dari komunitas adat di Kabupaten Kaur menambahkan, RUU masyarakat adat adalah jalan tengah yang bisa meredam konflik sekaligus membantu negara menyelesaikan sengkarut masalah terkait kemiskinan di kampung-kampung.
Sebab menurutnya, berkurangnya lahan produktif dan tidak adanya pengakuan atas wilayah yang dahulunya menjadi milik masyarakat adat, telah membuat merebaknya kemiskinan tersembunyi di kampung-kampung.
"Sawah sudah banyak hilang. Ladang yang sedianya untuk menjaga pangan, jauh mengecil. Nampaknya saja tenang di kampung, tapi kami kini makin terhimpit dan kesusahan," kata Agus.
Hasan, ketua adat komunitas Sungai Lisai, menambahkan konflik lain yang juga terjadi di Bengkulu yakni soal kebijakan di bidang kehutanan yang menetapkan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara. Di mana, sejak lampau praktik penetapannya tidak pernah menempatkan masyarakat adat yang telah lama berdiam di wilayah itu sebagai dasar pengambilan keputusan.
"Ini kerap menjadi awal mula konflik. Kami dianggap tidak ada dan justru diusir dari wilayah adat kami," kata Hasan.
Menanti Iktikad Presiden
Ketua Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bengkulu Fahmi Arisandi mengatakan, kehadiran ratusan perwakilan masyarakat adat di Bengkulu itu, sebagai bagian dari kepedulian mereka untuk mengawal pemerintahan baru.