Royalti Musik dan Keadilan Ekonomi Kreatif di Indonesia

Senin 18 Aug 2025 - 14:09 WIB
Reporter : Candra Hadinata
Editor : Candra Hadinata

Jakarta (ANTARA) - Denting gitar dari lagu lawas mengalun lembut, menyelip di antara aroma kopi panas dan obrolan para pelanggan sebuah kafe kecil di sudut ibu kota. Pemilik kafe, yang sejak pagi sibuk menyiapkan bahan baku, tahu benar bahwa musik adalah nyawa tempat usahanya yang membuat tamu betah, mengundang kenangan, dan mengikat suasana.

Namun, di balik tiap nada yang mengalir, faktanya ada jerih payah pencipta lagu yang mungkin sedang duduk jauh di sudut negeri, menunggu haknya dibayar. Hak itu tidak datang begitu saja, melainkan melalui mekanisme royalti yang kini menjadi perhatian serius banyak pihak.

Ketika Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memperketat aturan pengumpulan dan pendistribusian royalti, diskusi pun bergeser dari sekadar selera musik menjadi persoalan keadilan, keterbukaan, dan keseimbangan kepentingan antara pencipta lagu, pelaku usaha, dan konsumen.

Di sinilah cerita musik, uang, dan keadilan berpadu dalam satu panggung yang sama, dengan semua mata menunggu, apakah nada ini akan mengalun merdu atau justru sumbang. Inilah titik di mana transparansi dan keseimbangan menjadi penting, karena perlindungan hak cipta tidak boleh berjalan dengan mengorbankan keadilan bagi pelaku usaha dan konsumen.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI menyoroti kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait pengumpulan dan pendistribusian royalti lagu.

Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok, menegaskan bahwa mekanisme ini harus diatur dengan transparan dan akuntabel, tidak hanya demi memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya secara utuh, tetapi juga agar pelaku usaha, terutama UMKM, tidak terbebani secara berlebihan.

BACA JUGA:TNI Terjunkan Bantuan Logistik untuk Warga Gaza pada HUT ke-80 RI

Royalti, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, adalah hak ekonomi yang sah. Namun, tanpa kejelasan tarif, objek pungutan, dan tata cara pembayaran, hak tersebut justru berpotensi menjadi sumber kebingungan dan sengketa.

Kebijakan LMKN yang baru ini menuai perhatian karena mulai diberlakukan secara ketat di berbagai sektor, seperti kafe, restoran, hotel, transportasi umum, hingga penyelenggara acara.

Di satu sisi, para pencipta lagu menyambut harapan bahwa pendistribusian royalti akan berjalan lebih adil. Mereka ingin memastikan setiap putaran lagu yang menghidupkan suasana kafe, hotel, atau acara publik, benar-benar memberikan manfaat langsung kepada sang pencipta.

Di sisi lain, pelaku usaha, khususnya skala kecil dan menengah, mengeluhkan adanya beban biaya tambahan yang datang tanpa pemahaman memadai tentang dasar penetapan tarif atau mekanisme pembayarannya.

Kondisi ini menuntut kebijakan yang tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga dapat diimplementasikan dengan mudah di lapangan. BPKN memberikan sejumlah rekomendasi yang bertujuan membangun jembatan antara kepentingan pencipta lagu dan pelaku usaha. Hal yang menjadi concern di antaranya, LMKN perlu membuka akses informasi seluas-luasnya tentang besaran tarif royalti dan dasar penetapannya.

Keterbukaan ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang memberi ruang bagi publik untuk memahami logika di balik kebijakan tersebut. Kemudian, sistem distribusi digital harus dioptimalkan agar royalti diterima langsung oleh pencipta lagu, tanpa potongan yang merugikan dan tanpa birokrasi berlapis.

Selanjutnya, sosialisasi perlu dilakukan secara masif dan jelas, sehingga pelaku usaha, terutama yang berada jauh dari pusat informasi, tidak merasa kebijakan ini datang tiba-tiba.

BACA JUGA:TNI Terjunkan Bantuan Logistik untuk Warga Gaza pada HUT ke-80 RI

Tags :
Kategori :

Terkait