Tujuh tahun berikutnya kumat lagi. Pertumbuhan uang beredar ketat lagi. Ingatan yang sama disampaikan Purbaya ke Jokowi. Di saat Covid. Ekonomi selamat.
Pertengahan tahun 2024 terjadi lagi. Kali ini belum periode tujuh tahunan. Uang ketat lagi. Pertumbuhan uang beredar kembali ke angka 0.
Purbaya sudah menjadi Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Akibatnya, ekonomi sangat lesu. Muncul tagar "Indonesia Gelap". Yang disalahkan: kondisi global. Padahal ada yang di kendali kita sendiri.
Di awal masa jabatan Presiden Prabowo (Januari-April) pertumbuhan uang beredar membaik. Maka di akhir April 2025 Purbaya merasa gembira. Indonesia kembali cerah. Tidak akan terjadi krisis.
Tapi di bulan Mei-Juni-Juli-Agustus 2025 ekonomi dicekik lagi --istilah "dicekik" ini diucapkan Purbaya beberapa kali. Pertumbuhan uang beredar kembali menjadi 0.
BACA JUGA:Sisa 3 Bulan Lagi, Dewan Desak Pemprov Bengkulu Kejar Target PAD Tahun 2025
Dua mesin ekonomi kita, dua-duanya mati. Bank menaruh uang di bank --di Bank Indonesia. Pemerintah juga menaruh uang di Bank Indonesia. Di Bank Indonesia uangnya santai-santai --maksudnya: mengendap.
"Padahal pertumbuhan ekonomi kita 90 persen ditentukan oleh domestik," katanya.
Di saat ekonomi seret itu pemerintah justru menyedot pajak lebih banyak. Uangnya masuk BI. Mandeg di situ. "Kalau uangnya kembali beredar sih tidak apa-apa," katanya.
Maka langkah cepat Purbaya setelah jadi menkeu adalah mengembalikan uang yang mengendap tersebut ke sistem.
Purbaya melihat ada uang pemerintah sebanyak Rp 500 triliun di Bank Indonesia. "Saya sudah lapor Bapak presiden, besok yang Rp 200 triliun akan saya kembalikan ke sistem," katanya.
"Apakah sudah dilaksanakan?" bisik Purbaya ke wakil menteri di sebelahnya.
"Sedang dijalankan," ujar Purbaya seperti mengutip jawaban bisikan itu.
Dengan mengembalikan uang ke sistem, ekonomi bisa berjalan. Swasta hidup. Bisa membayar pajak lebih baik. Pemerintah juga bisa belanja. Program pemerintah berjalan. Termasuk Makan Bergizi Gratis.
Purbaya pun membuka angka: mengapa pertumbuhan ekonomi di zaman SBY lebih baik dari di zaman Jokowi. Pertumbuhan uang beredar di zaman SBY selalu di atas 17 persen. Di zaman Jokowi hanya tujuh persen. Karena itu pertumbuhan pajak di zaman SBY juga 0,5 persen lebih tinggi.
Purbaya bisa mengatakan pertumbuhan ekonomi akan bisa enam sampai tujuh persen dengan jalan menghidupkan dua mesin ekonomi itu.