Museum itu baru buka pukul 09.00. Christopher Tungka, sudah menjemput saya pukul 08.00.
Ia direktur di perusahaan suku cadang mobil di Fuqing, milik teman saya di Surabaya.
Ia juga ketua pertama Warung Kopi --Komunitas Persaudaraan Indonesia di Provinsi Fujian. Fuqing adalah satu kota di provinsi itu.
Ke museum Liem hanya perlu waktu bermobil 10 menit. Ada 50 menit yang bisa dimanfaatkan.
Chris mengajak saya ke kota lama. Jalan-jalan. Lihat-lihat orang jualan sayur dan makanan di pinggir jalan.
Kami mampir di warung ote-ote. Lihat orang yang lagi membuatnya. Saya membeli satu yang berisi rumput laut. Chris dan Andry membeli yang isi babi.
BACA JUGA:Sedih Tidak
Fuqing memang ''ibukota ote-ote". Juga tempat asal kue kompyang.
Sehari sebelumnya saya diantar ke warung pembuat kompyang terenak. Orang Surabaya yang ke Fuqing sering berpesan agar dibawakan oleh-oleh kompyang.
Itulah burger gaya Fuqing.
Bisa diisi apa saja.
Saya minta yang diisi tahu.
Memang agak beda dengan kompyang yang dijual di Pasar Atum Surabaya. Andry, teman dari Jakarta, bengong: Tionghoa Jakarta memang tidak tahu apa itu kue kompyang.
Inilah kue peninggalan masa perang. Rotinya dibuat keras agar tahan satu bulan masih bisa dimakan.
Di saat jalan-jalan di kota lama ini kami melewati gereja. Ada kebaktian di dalamnya: kebaktian minggu pagi. Saya pun masuk. Duduk di kursi di sela-sela jemaat yang lagi mendengarkan khotbah.
Yang khotbah terlihat di layar. Khotbahnya dalam bahasa Hokja. Wanita di sebelah pendeta menerjemahkan tiap kalimat ke dalam bahasa Mandarin.