Merawat Akal Sehat di Tengah Badai Informasi

Selasa 09 Sep 2025 - 15:05 WIB
Reporter : Radar Kepahiang
Editor : Radar Kepahiang

Jakarta (ANTARA) - Badai informasi datang dari segala arah hingga bisa memporak-porandakan isi kepala kita. Produksi informasi yang telah dibumbui teknologi dan bias pribadi makin menimbulkan kebingungan massal karena terciptanya banyak kepalsuan, sehingga penting untuk tetap merawat akal sehat agar tak tergulung gelombang sampah informasi tersebut.

“Informasi yang berlimpah tanpa konteks hanya melahirkan kebingungan, bukan pengetahuan”, kata filsuf kontemporer Neil Postman – dalam Amusing Ourselves to Death (1985).

Sekarang kita sedang berada pada realita itu: berkelimpahan informasi tanpa konfirmasi dan verifikasi yang membanjiri layar gawai setiap hari. Apalagi pemanfaatan teknologi akal imitasi yang tidak dilandasi etika dan moral dengan mudah memproduksi informasi penuh kepalsuan.

Masyarakat rendah literasi menjadi kalangan rentan yang mudah mabuk oleh hiburan informasi dangkal, hasil rekayasa dan berbumbu unsur palsu yang disajikan berbagai media sosial. Tanpa kemampuan mengunyah yang baik, kabar abal-abal yang ditelan begitu saja akan sangat berbahaya bagi kesehatan pikiran.

Bila kesehatan fisik (salah satunya) tergantung dari apa yang kita makan, maka kesehatan pikiran dipengaruhi dari jenis dan kualitas informasi yang dikonsumsi. Sehingga kemudahan akses informasi mestilah disertai literasi mumpuni. Jika tidak, bahaya akan pembusukan otak (brainrot) adalah nyata adanya.

Data terbaru per awal tahun 2025 dari We Are Social --dipublikasikan lewat DataReportal-- menunjukkan sebanyak 212 juta jiwa, setara dengan 74,6 persen dari total populasi Indonesia merupakan pengguna internet. Sedangkan pengguna media sosial sejumlah 143 juta identitas pengguna atau sekitar 50,2 persen dari keseluruhan penduduk. Dan koneksi seluler aktif terdata sekira 356 juta, atau 125 persen dari populasi, yang artinya banyak orang memiliki lebih dari satu koneksi seluler.

Maka bisa dibaca bahwa 3 dari 4 orang di Indonesia berada dalam jaringan, dan setengah populasi juga aktif di media sosial yang menjadi arena pertempuran informasi harian. Dari separuh pengguna medsos, tentu tidak semuanya punya kapasitas kritis yang mampu memilih dan hanya menikmati informasi bergizi bagi asupan isi kepalanya.

Padahal, pengguna medsos tidak hanya berperan sebagai konsumen, melainkan sekaligus juga produsen yang membuat dan mengunggah serta menyebarluaskan informasi atau konten. Bayangkan, seberapa besar daya rusak terhadap otak dari jutaan konten yang dibuat asal jadi dan asal sebar!

Dalam berbagai kesempatan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menegaskan bahwa tugas dan peran media arus utama adalah sebagai penjernih informasi.

Dikatakannya, pembeda media massa dan media sosial terletak pada proses verifikasi, jurnalis profesional wajib melakukannya sedangkan pembuat konten medsos, tidak. Ketiadaan penjaga pintu gerbang (gatekeeper) pada medsos menyebabkan keacakan konten tersiar secara liar.

Dengan demikian, untuk memperoleh informasi yang valid tentu perlu menelusuri melalui media resmi yang terverifikasi. Namun sayangnya, sebagian besar masyarakat enggan pergi ke sana.

BACA JUGA:Wagub: Menko AHY Akan Evaluasi Inpres Percepatan Pembangunan Enggano

Penjernih informasi

Menjadi tugas media massa arus utama untuk mengambil peran sebagai penjernih informasi karena sejak mula kehadirannya telah memiliki fitrah dalam fungsi edukasi publik. Media massa, dari pendiri hingga jurnalis di lapangan adalah SDM profesional di bidang pemberitaan, yang bekerja berdasarkan idealisme dan berpedoman kode etik sehingga setiap berita diproduksi dan disebarluaskan secara bertanggung jawab.

Pada bagian lain, sebagian masyarakat yang merupakan konsumen media, lebih meminati sensasi ketimbang edukasi. Kecondongan yang membuat kerumunan warganet berada di media sosial, platform yang dirasa lebih menghibur.

Tags :
Kategori :

Terkait