Diplomasi Jadi Aksi Nyata: Prabowo Menuju Kairo dan Gaza

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menuju Kairo, Mesir. --FOTO/ANTARA

Jakarta (ANTARA) - Senin, 13 Oktober 2025, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto berada di Kairo, Mesir, untuk menghadiri Emergency Summit for Gaza Peace Implementation. Kunjungan ini bukan sekadar pertemuan bilateral, melainkan langkah diplomatik strategis yang menandai babak baru peran Indonesia dalam mendorong perdamaian Timur Tengah, khususnya di Gaza.

Pertemuan puncak ini akan menjadi saksi sejarah: untuk pertama kalinya, Israel dan Hamas dijadwalkan menandatangani kesepakatan damai komprehensif yang disaksikan langsung oleh Presiden Mesir Abdel Fattah elSisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden Prabowo Subianto, serta 20 kepala negara lainnya dari kawasan Timur Tengah dan Eropa. Ini adalah momen yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah panjang konflik Palestina-Israel.

Di tengah momentum awal gencatan senjata yang rapuh dan perhatian dunia yang tertuju pada wilayah konflik Gaza, Indonesia melangkah maju. Tidak hanya membawa suara moral, tetapi juga kesiapan operasional, pengalaman diplomatik, dan kapasitas militer yang dihormati dunia.

Gencatan senjata yang telah berlangsung selama lebih dari 24 jam memungkinkan lebih dari 200.000 warga Palestina mulai kembali ke Gaza dari pengungsian. Ini bukan sekadar jeda dalam konflik, tetapi pertanda babak baru yang lebih menjanjikan.

Pertemuan tingkat tinggi ini bukan lagi sekadar forum pernyataan bersama. Ini adalah ruang konkret penyusunan mekanisme untuk menghentikan kekerasan, mengamankan koridor kemanusiaan, serta menyiapkan kehadiran internasional guna menjamin pelaksanaan gencatan senjata yang telah dicapai. Dalam momen ini, Indonesia hadir bukan untuk menyaksikan, melainkan untuk turut membentuk arah dan isi perdamaian.

 BACA JUGA:Kemenkes Gelar Hackathon Pacu Penanganan Berbasis AI untuk 5 Penyakit

Menyatukan Diplomasi dan Disiplin Lapangan

Kairo hari ini adalah panggung strategis, tempat berbagai kekuatan dunia bertemu untuk menyatukan kehendak. Di saat sebagian aktor besar masih berhitung dengan kehati-hatian, Indonesia mengambil posisi berbeda: aktif, tenang, dan terukur. Dalam berbagai forum internasional, termasuk Sidang Umum PBB ke-80, Presiden Prabowo telah menyampaikan kesiapan Indonesia untuk mengirim hingga 20.000 personel penjaga perdamaian ke berbagai zona konflik, termasuk Gaza.

Pidato itu bukan sekadar resonansi moral, melainkan menjadi pemicu diplomasi nyata. Tak lama setelah itu, Presiden Prabowo bertemu Presiden Trump dan sejumlah pemimpin Arab di sela-sela UNGA 80. Sebuah pertemuan strategis yang kemudian membuka jalan menuju kesepakatan damai komprehensif antara Israel dan Hamas yang kini akan difinalkan di Sharm el Sheik.

Kini, komitmen itu bergerak dari podium ke meja teknis. Indonesia masuk ke inti diskusi: perumusan mandat, zona aman, struktur komando, serta prosedur operasi yang menghormati hukum humaniter internasional. Peran Indonesia dalam pasukan multinasional ini menjadi krusial, bukan hanya karena jumlah 20.000 personelnya, tetapi juga karena rekam jejak, kesiapan logistik, dan penerimaan luas dari komunitas internasional.

Kredibilitas Indonesia tidak dibangun dalam semalam. Selama dua dekade terakhir, Indonesia memperkuat kapasitas pasukan perdamaian, membangun interoperabilitas lintas matra, serta memperluas keterlibatan dalam misi PBB di berbagai kawasan. Dari Lebanon hingga Afrika Tengah, pasukan Indonesia dikenal profesional dan dipercaya oleh warga sipil di lapangan. Kehadiran Indonesia di Kairo membawa jejak panjang itu sebagai bukti, bukan janji.

"Warga sipil tidak dilindungi dengan kata-kata, tetapi dengan mandat, logistik, dan kemauan politik,” tulis Ramesh Thakur dalam artikelnya The UN and Peacekeeping: Lessons Learned? (2001). Di Kairo, Presiden Prabowo membawa ketiganya: mandat kuat, kesiapan pasukan, dan posisi politik yang netral serta dipercaya.

Kai Michael Kenkel menjelaskan dalam bukunya bahwa keberhasilan misi modern tidak cukup dengan kehadiran militer, tetapi juga keterampilan menghubungkan keamanan dengan kemanusiaan. Dalam konteks Gaza, pasukan penjaga perdamaian harus bisa menjamin jeda tembak, menjaga jalur bantuan, dan menghubungkan kebutuhan warga dengan sistem internasional.

Indonesia memiliki pengalaman penting dalam rekonstruksi wilayah pascakonflik dan bencana. Keberhasilan membangun kembali Aceh dan Nias pascatsunami menjadi bekal teknis dan sosial untuk terlibat dalam rekonstruksi 20.000 hektare kawasan Gaza yang hancur akibat perang.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan