Tiap hari Kokkang menyuapi ibundanya, menggendong, memandikan, menceboki, mengipasi dan memberikan hiburan sepanjang hari.
Kokkang dengan rambut senimannya yang tetap panjang, kini justru terlihat lebih segar. Tidak sekurus ketika di Jawa Pos dulu.
Begitu lama saya tidak bertemu Kokkang. Membaca buku ini justru muncul rasa kangen padanya. Pada humor-humornya. Pada sikap mengalahnya.
Di buku ini saya bisa banyak melihat foto Kokkang bersama ibunya yang lemah. Kualitas foto-foto itu sebagus karya karikaturnya. Full human interest.
Ada foto saat-saat mereka berdua di toilet. Atau Kokkang lagi menyuapi. Terlihat juga saat sang ibu sangat bahagia: bisa tertawa lepas. Betapa bahagia wajah setua itu masih bisa tertawa begitu alamiyahnya. Betapa pintar dan sabar Kokkang membahagiakan ibundanya.
Kadang sebuah buku memang didahului dengan kata sambutan. Pun buku Kokkang ini. Bedanya, kata sambutan di buku ini hanya satu. Dari ibundanya sendiri. Juga sangat pendek. Satu halaman penuh isinya hanya tiga kata: "Kowe wis mangan?”.
Buku Cerita Ibunda ini berisi 50 bab. Tiap bab tidak ada yang lebih satu halaman. Bahkan banyak bab yang hanya berisi beberapa baris. Lalu disertai foto atau komik. Total 120 halaman.
Membaca buku ini perasaan saya campur aduk –terutama karena ditinggal ibu saat masih SD dan manja-manjanya.
Kadang air mata berlinang saat melihat Kokkang menggendong sang ibu. Atau saat menyuapi. Dulu tentu sang ibu yang menyuapi Kokkang.
Kadang saya membaca satu bab sampai tiga kali.
BACA JUGA:Critical Parah
Sebenarnya buku ini sangat lucu. Pasti ditulis dengan selera humornya yang tinggi. Maka terharu dan tertawa sering datang bergantian.
Mayoritas babnya ditulis dalam bentuk dialog. Misalnya bab pertama yang berjudul 'Sarapan' ini:
Makan pagi, ibu sedang kusuapi.
Ibu: makan apa ini?
Aku: tahu dan ayam, nasinya hangat.