Pandangan Agama dan Negara soal Nasab Anak di Luar Nikah

Nasab Anak di Luar Nikah--ILUSTRASI

Radarkoran.com -  Fenomena kehamilan di luar nikah bukan hanya persoalan individu, melainkan juga cerminan tantangan sosial, budaya, dan spiritual umat.

Di tengah derasnya budaya luar yang masuk tanpa saringan, nilai-nilai keluarga pun ikut diuji. Generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang serba terbuka, namun juga penuh tantangan. Salah satunya adalah munculnya fenomena anak yang lahir di luar pernikahan.

Maka dari itu, solusi atas persoalan ini tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum, tetapi juga pendidikan akhlak dan penguatan nilai-nilai agama di tengah masyarakat, terutama kepada generasi muda saat ini.

Ini bukan lagi hal yang jauh atau sekadar isu pribadi, tapi jadi kenyataan di tengah masyarakat kita. Persoalannya bukan hanya soal benar atau salah, tapi juga soal tanggung jawab. 

Siapa yang bertanggung jawab atas anak tersebut? Apakah ayah biologis tetap wajib menafkahi? Bagaimana pandangan hukum negara dan agama dalam memandang hal ini?

 

Perspektif Hukum Negara

Dilansir Kemenag, menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

BACA JUGA:BMKG Sebut Musim Kemarau 2025 Lebih Pendek

Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 memperluas makna tersebut.

Anak luar nikah yang memiliki hubungan biologis dapat pula memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.

Putusan ini menuai beragam pendapat. Sebagian kalangan, seperti peneliti dari Universitas Islam Indonesia menyatakan bahwa keputusan MK tersebut selaras dengan prinsip kemaslahatan dalam hukum Islam, khususnya menurut pemikiran Najmuddin Al-Thufi.

 

Perspektif Hukum Islam

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan