Sejarah Desa Sungai Lisai, Desa di Zona Khusus TNKS (PART 2)

SEJARAH DESA : Perintis Desa Sungai Lisai, Hasan (71) yang ditemui tahun 2016 menceritakan sejarah Desa Sungai Lisai Kabupaten Lebong.--EKO/RK

Radarkepahiang.bacakoran.co - H. Mubakhri, Bahir, M. Hasan, H. Daud, Maramid Karim dan Hasan adalah ketujuh warga Desa Madras Jambi yang pertama sekali membuka lahan hutan belantara yang saat ini menjadi Desa Sungai Lisai. 

Pusako Tembo Tujuh Depo yang bertuliskan tulisan arab gundul di atas kulit kayu, merupakan salah satu alasan mengapa ketujuh warga Madras nekat untuk menjelajah hutan. 

Dalam Tembo ditulis di gunung Seblat terdapat dataran luas yang cocok untuk dijadikan pemukiman serta bercocok tanam. 

Tembo ini ditulis oleh seorang nenek yang diberi gelar nenek Rio Belang. Ia memiliki dua orang anak. Nenek Rio Gagah Mudo dan nenek Rio Gagah Tuo. Hingga saat ini tembo masih ada dan disimpan di Desa Madras.

Wak Hasan, begitu orang Desa biasa memanggilnya, mulai menerawang jauh megingat bagaimana perjuangan saat mereka menerobos rindangnya hutan belantara. 

Saat itu umurnya masih 17 tahun. Karim adalah ayahnya yang juga termasuk dalam ketujuh orang yang pertama kali menemukan dataran yang menjadi cikal bakal Desa Sungai Lisai.

BACA JUGA:Sejarah Desa Sungai Lisai Zona Khusus TNKS, Pusako Tembo Tujuh Depo (PART 1)

Tak mudah bagi mereka untuk menemukan dataran ini. Selama 6 hari 6 malam meraka berada di hutan. Setelah berhasil melihat dataran dari Bukit Rindu Hati. Masih dibutuhkan waktu dua hari dua malam untuk sampai di sana.

"Setelah berhasil menemukan dataran itu. Kami kembali lagi ke Desa Madras. Kami melakukan musyawarah dan berembuk bersama Pasirah. Namanya M. Raif. Oleh dia (Pasirah, red) kami dibolehkan untuk menebas dataran tersebut untuk dijadikan pemukiman, " cerita Hasan.

Bermodalkan izin tersebut, mereka kembali kedataran yang sebelumna sudah ditemukan. 

Masing-masing membawa bekal setengah kaleng beras. Hanya itulah yang dibawa untuk menyambung hidup. Waktu itu ikan di aliran Sungai Seblat mapun Sungai Lisai masih sangat melimpah. Tidak perlu menggunakan pancing. Cukup dengan menghamburkan nasi, ikan seukuran betis orang dewasa sudah berkumpul. Dan tinggal ditebas oleh parang. Mulai tahun 1963 hingga 1965 mereka mulai menebas hutan yang ada di dataran itu.

"Pertama sekali yang datang hanya kami tujuh orang. Pulang ke Madras, kemudian kami datang sebelas orang dan ketiga kalinya setelah pulang ke Madras kami kembali datang. Jumlahnya 45 orang, " kata Hasan sembari menghidupkan rokok kretek miliknya.

Matanya mulai tampak berlinang air mata saat menceritakan bagaimana perjuangannya selama merintis Desa Sungai Lisai. Tak mudah memang. Selama satu tahun setengah ia hanya memiliki satu pakaian yang menempel dibadan. Pakaian itulah yang setiap hari ia gunakan.

Sepuluh hari sepuluh malam juga ia pernah lewati tanpa makan nasi. Hanya ubi kayu dan ubi jalar yang ia makan untuk mengganjal perut. Hal itu karena persedian beras yang ia miliki habis. Ia harus menunggu warga dari Madras yang membawa beras.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan