Seni Menjadi Guru Cinta Bagi Generasi Emas

Tugas sebagai guru yang terpenting adalah menebarkan cinta--FOTO/ANTARA

BACA JUGA:Mendag Dorong Distribusi Bahan Pokok Lewat Kopdes Merah Putih

Ketiga, adanya guru yang memandang kolega dan anak didik dengan penuh cinta. Syarat demikian, jelas tidak akan membeda-bedakan eksistensi diri manusia, selain dapat menumbuhkan nilai kebersamaan dalam orientasi dan kepentingan kemanusiaan yang sama.

Tolong-menolong dan saling menghargai sebagai wujud cinta, misalnya, akan menjadi hal otomatis, ketika realita sosial memanggilnya. Ingat, di kehidupan masyarakat desa, hal ini, jelas masih tumbuh subur.

Tradisi gotong royong, berupa aktivitas "sambatan" (bekerja tanpa imbalan) di desa kala membangun rumah, merupakan contoh perwujudan hakikat cinta sosial kemanusiaan yang sudah berakar.

Demikian juga realita hidup penuh cinta di masyarakat desa, tampak pada saat hajatan keluarga, seperti acara pernikahan, undangan selamatan/syukuran, apalagi saat anggota masyarakat berduka, anggota keluarga meninggal.

Tugas guru dan sekolah tinggal memunguti, mendaras, dan mengangkatnya sebagai materi pembelajaran cinta yang nyata dan menyentuh jiwa. Bukankah sesungguhnya materi belajar siswa itu nyata dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi seringkali terabaikan dalam pembelajaran formal.

Proses pembelajaran, selama ini tidak jarang terjebak pada materi bersifat teoritis, bukan hakikat praktis dalam kehidupan nyata. Apalagi, di tengah kungkungan administrasi pendidik yang menggunung. Apa yang dialami kolega guru, misalnya, berkaitan dengan keluarga dan anak-anaknya, kita bisa jadikan media saling menanam dan menumbuhkan cinta. Kegiatan sekolah berbasis kekeluargaan, seperti arisan keluarga sekolah dan peduli duka, menarik dilestarikan dalam membangun budaya sekolah penuh kasih.

Arisan keluarga besar institusi pendidikan, sekarang mulai memudar, banyak yang sudah meninggalkan. Untuk itu, melalui progam Kurikulum Cinta, yang digemakan Kemenag, menarik dibangkitkan ulang, mari ciptakan habituasi cinta secara alami di keluarga sekolah.

Keempat, bagaimana guru cinta yang berkesadaran lingkungan. Banyak hal kecil di sekolah yang bisa dimanfaatkan untuk menanamkan cinta lingkungan. Di sebuah sekolah di Ponorogo, misalnya, ada program bertema pembiasaan 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Pembiasaan itu, seperti bebersih kelas, menyiram tanaman, dan berbenah suasana agar indah.

Anak-anak diajar menyapu, membersihkan lingkungan, peduli tanaman sekitar, mengairi tanaman sekitar. Guru hadir memberi contoh langsung, bukan sekadar memerintah. Guru penting menemani dalam kegiatan pembiasaan, sehingga teladan pembelajaran cinta lingkungan menjadi masif dan infiltratif meresap ke mental bawah sadar anak didik.

Pembiasaan pendidikan itu penting, sebab di sekolah rata-rata kebersihan dibebankan pada petugas kebersihan. Padahal, di masa sekolah SD dan SMP generasi 60-an hingga 80-an, diwujudkan melalui program piket kelas. Piket kelas dan program pembiasaan, merupakan hal sederhana, tetapi menarik dihidupkan kembali dalam rangka membiasakan rasa cinta pada lingkungan.

Kelima, guru yang diliputi hakikat cinta kepada tanah air. Ketika guru mencontohkan diri sebagai model guru terbaik, peduli pada anak, respek terhadap sesama, rajin dan giat mengajar, maka akan menjadi model besar cinta bagi anak didik.

Guru yang sadar atas diri akan melahirkan anak-anak yang sadar diri pula. Menjadi anak kreatif dan mandiri tidak menjadi beban kehidupan, tidak menjadi beban keluarga dan negara. Anak-anak yang berkesadaran cinta kepada tanah air adalah mereka yang memiliki etos kerja keras, belajar keras, ulet, pantang menyerah, peduli, empati, dan penuh kasih hanya akan lahir jika guru menjadi perwujudan dan model cinta hakiki terhadap tanah air.

Keenam, adanya guru berlimpah dengan cerita cinta. Guru-guru yang memiliki khasanah cerita hikmah, baik cerita pengalaman atau rekaan bernilai cinta, akan menjadi upaya lain penyentuh hati dan jiwa. Pembelajaran berbasis cinta akan menjadi efektif jika pendidik adalah kolektor kisah cinta kehidupan yang ulung dalam beragam dimensi, cinta Ilahi, kemanusiaan, lingkungan, dan tanah air. Begitu banyak buku bacaan, materi literasi di sekolah atau media internet, yang dapat digunakan sebagai materi, sekaligus sarana pengulik nilai-nilai cinta kehidupan. Kisah-kisah manusia teladan, baik dalam kisah pahlawan atau sehari-hari, menjadi materi imajinasi yang bisa menjadi simulator ajaib bagi pikiran, rasa, dan jiwa anak didik.

Akan sangat efektif jika guru menjadikan itu semua sebagai penyedap pembelajaran materi apa pun yang disuguhkan di ruang kelas. Terakhir, pentingnya kesadaran cinta religius guru kepada hakikat keilahian. Tuhan meliputi segala makhluk di Bumi, maka segenap hal yang ada di semesta raya, alangkah indahnya senantiasa digunakan dalam penanaman hakikat cinta keberadaan Sang Ilahi. Tuhan yang berkehendak dan yang menguasai semesta dengan sifat rahman dan rahimnya akan mengalirkan nafas kehidupan terbaik kepada manusia dan semesta.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan