Seni Menjadi Guru Cinta Bagi Generasi Emas

Tugas sebagai guru yang terpenting adalah menebarkan cinta--FOTO/ANTARA
BACA JUGA:Prabowo Gencarkan Operasi Nasional Lawan Tambang Ilegal
Filosofi kebijakan
Jika kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) yang ditetapkan melalui Keputusan Dirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 tentang pentingnya pendidikan berbasis cinta, maka tugas guru adalah melaksanakan secara terbaik penuh kreasi dan inovasi. Sebab, pesan filosofi kebijakan demikian, tentu bersifat filosofis yang disiapkan dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Sebuah imajinasi tentang karakter generasi masa depan yang dirindukan, yakni Generasi Emas Indonesia yang cerdas, terampil, berakhlak mulia, dan berintegritas tinggi. Imajinasi generasi berkecerdasan komprehensif, inovatif dan produktif, serta memiliki kesadaran cinta.
Pembelajaran dan penanaman cinta melalui ulikan nilai-nilai, seperti religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, peduli, berintegritas, dan penuh aroma cinta akan menjadi kado Indonesia terindah di ulang tahun ke-100 kelak.
Pesan pembelajaran cinta bersifat filosofis dan substansial. Bukankah akar kehidupan dengan beragam perspektifnya adalah cinta? Di tengah kehidupan penuh dengan disrupsi, maka balutan nilai dalam beragam hakikat dan wujud cinta akan menguatkan nasionalisme di satu sisi dan di sisi lain jelas menghadirkan sosok generasi yang purna dalam hidupnya.
Kekuatan cinta dalam pendidikan nasional akan menjadi fondasi dahsyat dalam mewujudkan manusia Indonesia ke depan. Jika Gordon Dryden dan Jeannette Vos, dalam buku "Revolusi Belajar" mengutip pendapat Nasibitt tentang pentingnya nasionalisme budaya di tengah globalisasi dunia, maka hanya pendidikan berbasis cinta yang akan menguatkannya.
Begini pesan Nasibitt, "Semakin kita mengglobal dan menjadi saling bergantung secara ekonomi, kita pun semakin bertindak manusiawi; kita semakin menegaskan kekhasan kita, semakin ingin mempertahankan bahasa kita, dan berpegang teguh pada akar dan kebudayaan kita. Walaupun Eropa bergabung secara ekonomi, saya kira bangsa Jerman akan semakin Jerman, dan bangsa Prancis akan semakin Prancis".
Pernyataan ini merupakan tanda besar akan pentingnya cinta tanah air, nasionalisme sebagai sebuah bangsa unggul. Globalisasi justru memanggil kita semakin cinta kepada tanah air. Dengan apa? Dengan meningkatkan kualitas diri, kesadaran cinta, serta memiliki kecakapan literasi global dan lokal sekaligus untuk menjadi manusia seimbang.
Demikian pula, pembelajaran mendalam, kebijakan Kemendikdasmen, tentu akan memberikan ruang luar biasa untuk eksplorasi cinta secara mendalam yang berkaitan dengan segala persoalan kehidupan.
Pembelajaran setiap materi penting diulik mendalam, ditelisik koneksi nilai kehidupan, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Tugas guru memang semakin kompleks, yakni menyiapkan generasi global berkaki lokal, penuh cinta, mandiri dan kreatif, sehingga kompetitif di masa depan.
Kolaborasi positif antara kolega guru, diskusi dan berbagi, melibatkan tiga pilar pendidikan, merupakan sinergisitas yang wajib diwujudkan dalam praktik pendidikan nasional. Lembaga pendidikan tidak boleh merasa super, sebaliknya wajib merangkul keluarga dan institusi masyarakat, agar pendidikan menjadi holistik berbasis akar-akar cinta kehidupan nyata.
Guru cerdas intelektual, penuh cinta, mahir hidup dalam kompetisi global, serta mampu bekerja terbaik dalam mewujudkan mimpi generasi emas ke depan. Mari menjadi guru berjiwa seni, seni mengajarkan hakikat hidup yang diliputi hikmah penuh cinta. Seni adalah guru kehidupan, bukan sekadar teori demi teori, tetapi guru yang dipenuhi dengan mutiara sari dari teori yang asyik dipraktikkan di kehidupan sehari-hari.
Sebuah anyaman nilai-nilai hidup yang terpatri abadi, menjadi karakter pribadi generasi, dan berdaya saing di tahun 2045. Dr H Sutejo MHum adalah Ketua Perwakilan YPLP PGRI Kabupaten Ponorogo 2025-2030, Koordinator Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Ponorogo, dosen di lingkungan LLDIKTI Jawa Timur