Bisa Berujung Pemakzulan, KPK Diminta Usut Dugaan Jokowi Halangi Penyidikan Setya Novanto
Penyataan Agus Rahardjo berbuntut panjang, hingga KPK diminta mengusut dugaan Presiden Jokowi melakukan obstruction of justice. --FOTO/NET
BACAKORAN RK - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan obstruction of justice atau merintangi penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjerat Setya Novanto.
Penilaian itu didasarkan pengakuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo soal Presiden Jokowi pernah meminta supaya penyidikan terhadap Setya Novanto yang menjadi tersangka rasuah kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dihentikan.
Isnur menyebutkan, tindakan Jokowi menghalang-halangi penyidikan Tipikor merupakan tindak pidana serius. Pengacara publik itu menyebut obstruction of justice adalah tindakan yang menabrak Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ia menjelaskan, terkait dengan obstruction of justice dengan merujuk Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Obstruction of Justice berarti tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung, atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
"Ini merupakan tindakan penghinaan pada pengadilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum," ucap penyandang gelar magister hukum dari Universitas Pancasila itu.
Lebih lanjut, Isnur mendorong KPK mengusut Presiden Jokowi yang diduga merintangi penyidikan kasus Setnov. Kasus itu bisa mengarah pada impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. "Apabila hal tersebut dilakukan secara langsung oleh presiden sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan, perbuatan tersebut dapat mengarah pada pelanggaran Pasal 7B Undang-undang Dasar 1945," terang Isnur.
Pada Pasal 7B Ayat (1) berbunyi usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR, hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan pada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR, bahwa presiden dan/atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Untuk diketahui, Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam wawancara khusus di Kompas TV pada Kamis malam (30/11) mengaku pernah dipanggil Presiden Jokowi gara-gara menjerat politikus Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka rasuah e-KTP. KPK menyidik kasus tersebut pada tahun 2017, ketika Setya Novanto menjabat ketua DPR. Menurut Agus, Presiden Jokowi menginginkan penyidikan kasus yang mendera Setya Novanto dihentikan.
BACA JUGA:Honorer yang Telanjur Dirumahkan dan Tercecer Akan Masuk Pendataan
Tanggapan Presiden Jokowi
Presiden Jokowi menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo. Jokowi mempertanyakan maksud Agus Rahardjo.
"Untuk apa diramaikan?. Itu kepentingan apa diramaikan, itu untuk kepentingan apa?," tanya Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/12).
Presiden Jokowi pun meminta publik mengecek pemberitaan di tahun 2017 itu, kala kasus Setya Novanto sedang bergulir. Jokowi menekankan bahwa saat itu dia menyampaikan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum yang ada.