Beruntungnya kami dapat bertemu langsung oleh salah satu warga perintis desa kala itu (Tahun 2016, red). Ia adalah Hasan (71).
Dari 7 orang pertama yang merintis hutan dari Madras hingga akhirnya menemukan dataran wilayah yang saat ini menjadi Desa Sungai Lisai.
Saat itu kami bertemu dengannya di rumah salah satu rumah warga Sungai Lisai.
Menggunakan jaket berwarna abu-abu dan kain sarung bermotif kotak-kotak coklat putih lengkap dengan kopiah hitam dikepalanya ia mulai menceritakan bagaimana asal usul Desa Sungai Lisai.
Kulitnya mulai tampak keriput, rambut dan kumisnya sudah berwarna putih. Diumurnya yang tidak muda lagi, suara Hasan masih sangat jelas didengar. Usia tak mengurangi kemampuan ingatannya. Ingatannya masih sangat bagus menceritakan sejarah Desa.
Diceritakannya, nama Sungai Lisai diambil dari nama pohon. Yaitu Pohon Lisai yang letaknya berada di muara sungai, persis di sebrang desa.
Karena pohon ini tumbuh di muara sungai, sehingga masyarakat menyebutnya Sungai Lisai.
Namun sebelum menjadi desa, Sungai Lisai adalah dusun. Di tahun 1970 pemerintah Jambi sepakat mementuk dua dusun yaitu Dusun Air Putih dan Dusun Seblat Ilir yang saat ini telah menjadi Desa Sungai Lisai.
"Dulu dimuara sungai tumbuh kayu Lisai. Karena itu kami menyebutnya Sungai Lisai. Saat menjadi desa kami sepakat menamakannya Desa Sungai Lisai karena letak pemukiman berada tepat dipertemuan arus Sungai Lisai dan arus Sungai Seblat. Pohonnya besar. Dulu kami tebang dan kayunya kami jadikan untuk membangun langgar desa, " jelasnya.
Mulai padatnya pemukiman di Madras menjadi salah satu alasan mengapa dirinya bersama 6 rekannya yang lain nekat untuk menjelajah menyusuri hutan mencari tempat kehidupan yang baru.
H. Mubakhri, Bahir, M. Hasan, H. Daud, Maramid dan Karim ayahnya adalah 6 rekannya yang pertama sekali menemukan dataran yang menjadi cikal bakal menjadi Desa Sungai Lisai.
Saat itu mereka telah menjelajah hutan selama 6 hari 6 malam. Dari bukit yang tinggi, mereka melihat dataran luas. Bukit itu dinamakan Bukit Rindu Hati. Karena saat melihat dataran itu, mulai timbul niat untuk datang melihat secara langsung dataran tersebut. Sehingga terucap "Rindu Hati" ingin kesana.
"Dua hari dua malam kami mencari jalan untuk turun ke dataran itu. Sungai Seblat tampak jelas seperti jalan aspal dari atas Bukit Rindu Hati, " kenangnya.
Disisi lain, penjelajahan hutan yang dilakukan juga dilakukan menuruti tulisan dalam Pusaka Tembo Tujuh Depo. Tulisan dalam pusaka tersebut ditulis menggunakan huruf arab gundul.
Di Desa Madras saat itu hanya ada 3 orang yang dapat menterjemahkan isi dari tulisan yang berada di dalam Tembo.