Gadis Embun

----DISWAY

Ketika aku lulus SMP, aku ingin sekolah di tempat yang bisa membuka jalan ke masa depan. Keluargaku menyarankan SMK Telkom Malang, sekolah swasta dengan kualitas bagus, tapi biayanya tinggi. Apalagi berada jauh dari kota tempatku tinggal pasti juga perlu menyiapkan biaya untuk menyewa tempat tinggal dan biaya hidup.

BACA JUGA:Olimpiade Ijazah

Aku sempat ragu, tapi mereka meyakinkan. Mereka bilang, akan mengusahakan semuanya. Dan aku percaya. Namun, tidak semua jalan mulus. Di tengah perjalananku di SMK, kami benar-benar kehabisan biaya. Aku sempat menangis, ingin berhenti sekolah, ingin pindah saja.

Tapi orang tuaku, kakakku, bude-pakdeku mereka semua turun tangan. Mereka memastikan aku tetap bisa belajar, tetap bisa bermimpi. Dari mereka aku belajar arti gotong royong dalam cinta dan kasih sayang.

Di SMK Telkom, Malang, aku melihat banyak alumni yang kuliah di luar negeri. Mimpiku yang dulu sempat kusimpan, menyala lagi. Tapi aku tahu, keluargaku hanya mampu membiayai sekolah, bukan kursus atau persiapan kuliah di luar negeri.

Jadi aku belajar sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Sampai akhirnya aku ikut program magang yang menjanjikan beasiswa kuliah. Aku sempat merasa tenang, merasa aman. Tapi ternyata, beasiswa itu dicabut tanpa alasan. Hatiku hancur.

Aku berhenti sekolah setahun.

Tapi aku tidak tinggal diam. Aku mendaftar program pertukaran pelajar ke Korea Selatan dan lolos. Rasanya seperti mimpi. Tapi tak lama, bencana alam melanda Korea dan visaku ditolak. Sponsor sudah ada, harapan sudah tinggi dan semuanya runtuh begitu saja. Aku frustrasi. Tapi aku mencoba bangkit lagi.

Aku kembali lolos program pertukaran pelajar ke tiga negara: Malaysia, Singapura, dan Thailand. Aku berangkat dengan tanggung jawab besar: menjaga nama baik para sponsor yang sudah percaya padaku. Setelah pulang ke Indonesia, aku kembali dihantui kenyataan. Teman-temanku sudah kuliah, aku masih mencari jalan.

Aku daftar berbagai beasiswa ditolak semua. Di tengah kegalauan, aku pergi ke Kampung Inggris, Pare, Kediri. Niatnya belajar TOEFL, juga ikut UTBK. Uang seadanya, tapi aku bertemu seseorang yang baik hati, yakni owner tempat kursus yang memberiku harga murah.

Di sana aku belajar 6 bulan penuh. Aku bolak-balik Pare-Surabaya naik bus hanya untuk mengurus SKCK dan berkas pendaftaran beasiswa. Aku daftar ke banyak universitas di luar negeri. Tapi lagi-lagi, semua menolakku. Hingga harapanku terakhir: UTBK. Tapi hasilnya juga tak memihakku.

Aku patah. Rasanya seperti tak ada lagi pintu yang terbuka. Tapi saat itu, aku mendengar tentang program pengabdian masyarakat. Aku daftar. Di sana, di Dieng, Jateng, aku membantu warga, mengajar anak-anak tanpa bayaran. Aku mungkin tak punya gelar, tapi aku ingin tetap berguna.

Di antara para relawan itu, hanya aku yang belum kuliah. Minder? Pasti. Tapi aku percaya, Tuhan tidak membawa kita sejauh ini hanya untuk menyerah. 

Lalu, ketika aku sedang dalam perjalanan ke tempat pengabdian selanjutnya, aku dapat kabar dari grup alumni SMK. Ada program beasiswa ke Tiongkok. Aku daftar. Gratis. Dan di dalam kereta ekonomi yang berisik, aku mengikuti wawancara. Dengan kondisi seadanya. Dan malam itu juga aku dinyatakan lolos.

Aku menangis. Bahagia. Mataku berbinar. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku melihat cahaya. Untuk pertama kalinya, aku bisa bilang pada diriku sendiri: Akhirnya, jalanku dibuka juga.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan