Radarkoran.com - Banyak kalangan tidak tepat dalam menafsirkan pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dan Presiden Prabowo Subianto, saat berpidato pada puncak peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2024 di Jakarta Timur, Kamis 28 November 2024.
Pernyataan Presiden Prabowo dan Menteri Abdul Mu’ti bahwa pemerintah akan melaksanakan peningkatan kesejahteraan guru atau tambahan penghasilan guru, malah ditafsirkan gaji guru naik 2025. Padahal, peningkatan kesejahteraan guru dilakukan dengan mekanisme menggenjot jumlah guru bersertifikat pendidik atau Serdik, setelah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 2 semester.
Dengan mengantongi sertifikat pendidik, guru bisa mendapatkan tunjangan sertifikasi, hal tersebut yang sudah diterapkan sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yakni guru PNS dan guru PPPK akan mendapatkan tunjangan sertifikasi sebesar 1 kali Gaji pokok atau Gapok.
Adapun guru honorer yang sudah mengontongi sertifikat pendidik akan menerima tunjangan sebesar Rp 2 juta, dari yang sebelumnya Rp 1,5 juta. Jadi, di era Presiden Prabowo, akan mendapat kenaikan tunjangan Rp 500 ribu. Namun Presiden Prabowo menjanjikan guru honorer non-sertifikasi mendapatkan tambahan penghasilan.
Hanya saja untuk nominalnya belum ditentukan. Presiden Prabowo menyampaikan, untuk honorer non-sertifikasi akan diberikan bantuan dana tunai melalui transfer perbankan yang sedang dirancang bersama Badan Pusat Statistik (BPS).
"Jumlah penerimanya akan disampaikan pada tahun 2025. Sekarang oleh BPS sedang dihitung dan dicari, baik nama dan alamat persis, siapa yang berhak menerima manfaat tersebut," sampai Presiden Prabowo.
BACA JUGA:Soal Gaji Guru Naik, Mendikdasmen Malah Minta Maaf Tidak Punya Kewenangan
Di sisi lain, Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menyambut baik wacana pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Tetapi ada 3 catatan penting yang mesti menjadi perhatian.
"Komitmen pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru merupakan langkah yang baik, tapi harus disertai dengan kebijakan strategis yang menyelesaikan masalah mendasar, terutama mengenai data, kesenjangan kesejahteraan, dan skema pendapatan guru," papar Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini dalam keterangannya di Jakarta, Jumat 29 November 2024.
Pertama, yakni perbaikan data guru. Menurut Agung, perbaikan data guru secara holistik dan komprehensif merupakan prioritas pertama dan utama yang harus segera dilakukan. Terlebih, IDEAS menemukan bahwa data mengenai populasi guru masih berbeda-beda antara satu sumber resmi dengan sumber resmi yang lain. Padahal data tersebut dikeluarkan oleh instansi resmi pemerintah.
"Data mengenai jumlah guru sekarang ini masih tumpang tindih. Misalnya, berdasarkan data Kemendikbudristek, Kemenag, dan BPS, jumlah guru berkisar antara 3,56 juta hingga 3,86 juta orang. Bahkan, angka ini jauh berbeda dari target pemerintah untuk 2025 yang hanya menyebutkan 1,93 juta guru bersertifikat," jelas dia.
Maka dari itu, IDEAS mendukung rencana pemerintah melalui BPS untuk mendata guru honorer yang belum mengantongi Sertifikasi pendidik atau Serdik.
"Pendataan ini penting untuk memastikan guru honorer mendapatkan peningkatan kesejahteraan. Dari data kami, terdapat 2,06 juta guru honorer, yang setara 56 persen dari total guru di Indonesia. Jumlah ini meliputi 838,6 ribu guru SD, 275,2 ribu guru SMP, serta 278,2 ribu guru MI," terangnya.
Kedua, Agung menyoroti tentang pentingnya membangun keadilan bagi setiap guru di Indonesia, terutama dalam menyelesaikan kesenjangan kesejahteraan akibat status kepegawaian. "Kesenjangan ini masih menjadi masalah besar, padahal berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2017, beban kerja guru tetap sama tanpa memandang status kepegawaiannya," ucapnya.
Dia mencontohkan, guru ASN PNS berserdik mendapatkan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok, sedangkan tunjangan guru honorer berserdik hanya meningkat menjadi Rp 2 juta. Sementara itu, guru ASN PPPK berserdik menerima tunjangan satu kali gaji pokok, yang lebih tinggi dibandingkan guru honorer bersertifikat pendidik. "Tambahan ini menunjukkan kalau langkah ke arah yang benar, tetapi belum cukup untuk mengatasi ketimpangan yang ada," tegas Agung.