Tiba-tiba Pengusaha Minyak Goreng Minta Minyakita Dihapus, Diganti BLT

Produsen minyak goreng mengecek langsung isi Minyakita di Jakarta, Rabu 12 Maret 2025--TANGKAPAN LAYAR
Radarkoran.com - Polemik minyak goreng kemasan sederhana merek pemerintah, Minyakita tengah memanas. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengusulkan agar program Minyakita dihapus dan diganti dengan skema Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat kurang mampu.
Menurutnya, sistem yang berjalan saat ini tidak efektif dan menimbulkan distorsi di pasar. Apalagi, imbuh dia, Minyakita telah mendominasi pasar sejak tahun 2022 hingga sekarang ini, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip kompetisi sehat.
"Ini model minyak goreng begini, apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahkan regulasi. Jadi di pasar itu sudah dominan Minyakita dibandingkan dengan minyak yang lain. Jadi sudah tidak ada kompetisi," kata Sahat, dikutip Kamis 13 Maret 2025.
Ia juga mengingatkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menekankan pentingnya persaingan pasar dan menghindari monopoli. Oleh karena itu, ia mengajak pemerintah untuk mencari solusi terbaik demi kepentingan nasional.
Sahat pun menyebut Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun harga minyak goreng di dalam negeri masih tinggi. Dia menganggap ini sebagai sebuah ironi.
"Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah lah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor," jelasnya.
BACA JUGA:Ragam Jenis Pencuri Waktu dan Pahala Saat Bulan Ramadan
Menurutnya, minyak mentah atau crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan domestik harus di level harga yang lebih rendah.
"Minyak untuk domestik itu harus rendah nilainya, karena kita lah sumber yang tertinggi. Nah, minyak untuk ekspor itu juga harus diregulasikan, jangan diserahkan kepada perusahaan asing untuk mengatur harga kita," terang dia.
Untuk itu, Sahat mengusulkan agar bantuan bagi masyarakat miskin tidak lagi diberikan dalam bentuk produk Minyakita, melainkan berupa BLT.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 281,6 juta jiwa, dengan 9,03% atau sekitar 25,4 juta orang berada dalam kategori berpendapatan rendah. Dengan asumsi konsumsi minyak goreng mereka 8 kg per kapita per tahun, kebutuhan totalnya mencapai sekitar 100 ribu ton per tahun.
"Nah, pembagiannya itu jangan berupa produk, lebih baik BLT, jadi Bantuan Langsung Tunai. BLT itu daftarnya kan ada di Departemen Sosial, ya kita berikan ke Departemen Sosial," usul Sahat.
Ia menegaskan, pendanaan program ini tidak perlu membebani anggaran pemerintah. "Dananya dari mana? Tidak usah dari pemerintah, itu dari levy (pungutan ekspor minyak sawit) saja kita ambil. Bahwa pemerintah akan menarik levy misalnya sebesar US$1. Itu kita tahu lah tujuannya itu untuk apa," ucapnya.
Sahat juga menilai, harga Minyakita seharusnya tidak dipatok pada Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp15.700 per liter, melainkan dilepas ke harga pasar sekitar Rp18.000 per liter.